
Ramalan Ekonomi AS Vs China di 2023, Siapa yang Lebih Kuat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekuatan ekonomi Amerika Serikat (AS) dengan China selalu menarik untuk disandingkan. Pasalnya, kedua negara ini memegang peranan penting dalam perekonomian global.
Lantas, di tengah guncangan perekonomian global saat ini, bagaimana perbandingan prediksi pertumbuhan ekonomi kedua negara ini ke depan?
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan PDB riil AS akan tumbuh sebesar 1,8% pada tahun 2022. Namun tahun depan, OECD membawa kabar buruk untuk negeri Paman Sam ini karena pertumbuhan PDB riil diperkirakan hanya menyentuh angka 0,5% di tahun 2023. Angka ini akan merangkak naik setengahnya di tahun 2024, dengan prediksi pertumbuhan PDB riil sebesar 1,0%.
Sedangkan untuk China, meskipun pertumbuhan ekonominya akan melambat tahun ini, OECD memprediksi ekonominya akan tumbuh nyaris 2 kali lipat dari yang diperkirakan untuk AS.
Di tahun 2022 ini, OECD memperkirakan ekonomi China tumbuh sebesar 3,3%. Untuk tahun depan, China diprediksi akan rebound sehingga ekonominya akan tumbuh sebesar 4,6% di tahun 2023. Namun, di tahun 2024, angka ini diprediksi turun menjadi 4,1%.
OECD juga melihat akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di AS yang disebabkan oleh banyak faktor, beberapa diantaranya faktor konsumsi, produksi, dan inflasi yang tinggi. Menurut OECD, tingkat inflasi yang tinggi dan kondisi keuangan yang ketat telah menyebabkan penurunan tingkat konsumsi di masyarakat.
OECD memperkirakan, meskipun tekanan harga akan mereda karena harga energi stabil dan permintaan melambat, namun inflasi inti diproyeksikan tidak akan kembali mendekati target Federal Reserve 2% hingga akhir 2024.
Inflasi yang tinggi juga turut menurunkan daya beli rumah tangga oleh karena itu OECD berasumsi bahwa Federal Funds Rate akan terus dinaikkan ke puncak 5-12,75% pada awal tahun 2023. Investasi swasta, terutama di perumahan, diperkirakan akan semakin melambat sebagai respons terhadap permintaan yang lebih rendah dan suku bunga yang lebih tinggi.
Selain itu, sebagai dampak dari melambatnya produksi dalam negeri, tingkat pengangguran diproyeksikan naik menjadi 4,7% pada tahun 2024 dan hal ini akan direspon dengan pertumbuhan upah yang melambat. Investasi swasta, terutama di perumahan, diperkirakan akan semakin melambat sebagai respons terhadap permintaan yang lebih lemah dan suku bunga yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk China, OECD melihat pertumbuhan ekonominya akan melambat menjadi 3,3% di tahun 2022. Menurut OECD, hal ini disebabkan oleh munculnya virus omicron yang telah menyebabkan gelombang penguncian yang berulang pada tahun 2022 sehingga mengganggu aktivitas ekonomi.
Selain itu, OECD menilai, permintaan terhadap konsumsi akan menurun sebagai akibat dari rendahnya kepercayaan konsumen ditambah dengan perlindungan sosial yang tidak memadai sehingga banyak orang lebih memilih menabung untuk berjaga-jaga.
Menurut OECD, China tidak akan relatif terlindungi dengan baik dari guncangan pasar pangan dan energi global akibat perang Rusia-Ukraina karena struktur konsumsinya, dimana sebagian besar pangan memiliki kandungan impor yang terbatas.
Namun, terdapat kendala dari sisi pasokan yang disebabkan oleh pembatasan pada makanan segar. Hal ini mulai mendorong inflasi IHK lebih tinggi, menjadi 2,8% yoy di bulan September 2022.
Terkait ekspor, OECD memperkirakan pertumbuhan ekspor akan tetap rendah di tengah prospek pertumbuhan global yang melemah, namun akan meningkat di tahun 2024.
Meskipun terjadi kenaikan harga pangan segar baru-baru ini, tapi OECD yakin inflasi harga konsumen akan tetap terkontrol karena langkah-langkah yang diambil pemerintah saat ini untuk mengelola harga energi dan pangan.
![]() Proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) global dan sejumlah negara maju yang dirilis oleh OECD. |
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tanda Deglobalisasi, AS Siap Tarik Dolar 'Pulang Kandang'