CNBC Indonesia Research

Bedah Kesepakatan Transisi Energi G20! Siap Tanpa Batu Bara?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
Jumat, 18/11/2022 10:25 WIB
Foto: REUTERS/KEVIN LAMARQUE

Jakarta, CNBC Indonesia - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali resmi berakhir pada Rabu (16/11/2022). Namun masih begitu menarik dibahas terkait beberapa kesepakatan yang tertuang dalam 'Leaders Declaration' terkait penanganan krisis energi.

Untuk diketahui, KTT menghasilkan 52 kesepakatan di mana poin inti kesepakatan dalamG20Bali Leaders' Declaration tertuang dalam 17 halaman. Namun, dokumen deklarasi serta annex mencapai 1.186 halaman.

Deklarasi yang menjadi sorotan tentu saja terkait perang Rusia- Ukraina yang sudah sudah berlangsung sejak akhir Februari 2022 tersebut membayangi pertemuan pemimpin G20. Selain itu, salah satu yang menjadi fokus kesepakatan salah satunya bertumpu pada komitmen transisi energi yang kini marak digaungkan di Indonesia.


Transisi energi dan energi baru terbarukan adalah sektor prioritas dalam pembangunan Indonesia di masa depan. Lantas, seberapa jauh Indonesia meneruskan keseriusannya dalam transisi energi? Dan seberapa jauh negara maju di G20 berperan untuk mewujudkan target Net Zero Emission?

Pertama, kesepakatan tertuang dalam paragraf 11 di mana menegaskan tujuan bersama untuk mempercepat transisi energi secara inklusif dengan membuka keran investasi berkelanjutan kendati sedang berada dalam kondisi krisis energi global.

Kebijakan ini tentunya sudah berulang kali ditegaskan pemerintah bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emission.

Kedua, pada paragraf 12 juga turut menjadi poin kesepakatan yang bersinggungan erat dengan upaya transisi energi.

Di mana isinya berisi berlandaskan Bali Compact dan Bali Roadmap for Energy Transition, mendorong upaya pemberantasan energy poverty dengan menyediakan akses pada teknologi energi bersih, memanfaatkan energi terbarukan dan sumber-sumber energi rendah karbon dengan melakukan phase down unabated coal artinya energi batu bara yang kotor.

Rencana transisi penggunaan batu bara sudah aktif digaungkan pemerintah Indonesia sejak tahun 2021. Langkah ini bertujuan untuk target netral karbon pada 2060 mendatang. Pasalnya, saat ini batu bara dianggap sebagai penyumbang emisi karbon tertinggi selain karbon dioksida.

Kendati demikian, komoditas batu bara masih dibutuhkan sebagai sumber energi. Di samping itu, batu bara masih dinilai sebagai sumber energi paling murah.

Wajar jika negara G20 menyepakati poin ini, sebab banyak negara yang masih menggunakan batu bara sebagai tenaga pembangkit listrik. Termasuk Indonesia. Indonesia cenderung tertinggal dalam hal transisi meninggalkan penggunaan batu bara untuk listrik. Mengutip Ember Climate, pembangkit listrik tenaga hibrida Indonesia masih didominasi oleh batu bara, yakni sekitar 60% dari listrik yang dihasilkan.

Angka tersebut menempatkan Indonesia di peringkat keempat sebagai pemilik sektor pembangkit listrik paling padat batu bara di antara negara-negara G20. Sementara, sebanyak 23%merupakan pembangkit listrik minyak dan gas serta 17% lainnya merupakan energi hidro, bioenergi, dan energi terbarukan lainnya.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara hingga saat ini masih menjadi andalan RI dalam memenuhi kebutuhan energi. Pasalnya, batu bara sejauh ini masih menjadi sumber energi termurah di negara ini.

Dalam catatan PT PLN (Persero) sampai pada tahun 2030, kapasitas terpasang pembangkit listrik mencapai 99,2 Giga Watt (GW). Diantaranya 45% atau sebanyak 44,7 GW masih didominasi oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Sementara, pembangkit gas 26%, PLTA 15%, PLTP 6%, PLTS 5%, PLT EBT 2% dan PLT EBT Base 1%.

Lalu, Apakah bisa Indonesia lepas dari batu bara?

Berbicara net zero emission di tahun 2060 masih begitu panjang dan akan sangat berat tentunya bagi Indonesia. misalnya dari tenaga bayu (angin) dan tenaga surya, yang memiliki ketergantungan pada kondisi tertentu dan secara skala keekonomian masih harus ditingkatkan, serta tak semua titik di Indonesia ideal untuk membangun pembangkit EBT jenis tertentu.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) perlu dikombinasikan dengan baterai untuk menghasilkan listrik lebih lama karena di malam hari tentu tidak ada serapan sinar matahari.

Namun, setidaknya dengan kesepakatan di G20 ini, Indonesia akan segera memulai percepatan percepatan tersebut sesuai dengan roadmap yang telah ditentukan.

Jika dilihat dari Rencana Usaha Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 kapasitas terpasang pembangkit terpasang di Indonesia untuk pembangkit energi bersih mencapai 63,3 GW dan 10 tahun mendatang. Ini tentunya menjadi peluang bisnis bagaimana Indonesia mengembangkan bisnis EBT.

Akan Ada yang Dikorbankan

Dari kesepakatan ini tentunya ada yang terkorbankan. Ya, batu bara. Perusahaan-perusahaan batu bara kini tengah terancam 'kiamat' batu bara dan merupakan takdir yang tidak dapat dihindarkan. Sejumlah perusahaan batu bara mulai melakukan diversifikasi bisnisnya baik secara moderat atau bahkan pivot dengan signifikan.

Sejumlah perusahaan mulai melakukan hilirisasi hingga penggunaan energi rendah karbon untuk keperluan operasi. Beberapa yang lain malah melangkah lebih jauh mulai dari mendirikan PLTS hingga masuk ke industri kendaraan listrik.

Salah satu contohnya dari perusahaan Holding BUMN. Ekspansi bisnis perusahaan ke sektor energi baru dan terbarukan terus bergulir. Salah satu wujud pengembangannya yakni PTBA bersama PT Jasa Marga (Persero) Tbk bekerja sama dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di jalan tol Jasa Marga Group.

Bentuk nyata dari implementasi kerjasama tersebut yakni pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Jalan Tol Bali-Mandara berkapasitas 400 Kilowatt-peak (kWp). PLTS di Jalan Tol Bali-Mandara yang telah selesai dibangun dan diresmikan.

PLTS yang dibangun PTBA melalui anak perusahaannya, PT Bukit Energi Investama (PT BEI), ini menjadi wujud konkret komitmen perusahaan untuk mengurangi emisi karbon global sekaligus dukungan terhadap presidensi G20 Indonesia yang dilaksanakan di Bali pada November 2022 ini.

Selain itu, PTBA melalui anak usahanya, PT BEI akan membangun PLTS untuk mendukung kegiatan operasional pabrik PT Semen Padang yang merupakan anak usaha SIG. Rencananya pembangunan PLTS mencakup PLTS Rooftop dan PLTS Ground Mounted yang ditargetkan beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date/COD) pada tahun 2023 - 2024.

Kupas Paragraf Selanjutnya Komitmen Transisi Energi >>> Baca di halaman selanjutnya


(aum/aum)
Pages