Jakarta, CNBC Indonesia - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali resmi berakhir pada Rabu (16/11/2022). Namun masih begitu menarik dibahas terkait beberapa kesepakatan yang tertuang dalam 'Leaders Declaration' terkait penanganan krisis energi.
Untuk diketahui, KTT menghasilkan 52 kesepakatan di mana poin inti kesepakatan dalamG20Bali Leaders' Declaration tertuang dalam 17 halaman. Namun, dokumen deklarasi serta annex mencapai 1.186 halaman.
Deklarasi yang menjadi sorotan tentu saja terkait perang Rusia- Ukraina yang sudah sudah berlangsung sejak akhir Februari 2022 tersebut membayangi pertemuan pemimpin G20. Selain itu, salah satu yang menjadi fokus kesepakatan salah satunya bertumpu pada komitmen transisi energi yang kini marak digaungkan di Indonesia.
Transisi energi dan energi baru terbarukan adalah sektor prioritas dalam pembangunan Indonesia di masa depan. Lantas, seberapa jauh Indonesia meneruskan keseriusannya dalam transisi energi? Dan seberapa jauh negara maju di G20 berperan untuk mewujudkan target Net Zero Emission?
Pertama, kesepakatan tertuang dalam paragraf 11 di mana menegaskan tujuan bersama untuk mempercepat transisi energi secara inklusif dengan membuka keran investasi berkelanjutan kendati sedang berada dalam kondisi krisis energi global.
Kebijakan ini tentunya sudah berulang kali ditegaskan pemerintah bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emission.
Kedua, pada paragraf 12 juga turut menjadi poin kesepakatan yang bersinggungan erat dengan upaya transisi energi.
Di mana isinya berisi berlandaskan Bali Compact dan Bali Roadmap for Energy Transition, mendorong upaya pemberantasan energy poverty dengan menyediakan akses pada teknologi energi bersih, memanfaatkan energi terbarukan dan sumber-sumber energi rendah karbon dengan melakukan phase down unabated coal artinya energi batu bara yang kotor.
Rencana transisi penggunaan batu bara sudah aktif digaungkan pemerintah Indonesia sejak tahun 2021. Langkah ini bertujuan untuk target netral karbon pada 2060 mendatang. Pasalnya, saat ini batu bara dianggap sebagai penyumbang emisi karbon tertinggi selain karbon dioksida.
Kendati demikian, komoditas batu bara masih dibutuhkan sebagai sumber energi. Di samping itu, batu bara masih dinilai sebagai sumber energi paling murah.
Wajar jika negara G20 menyepakati poin ini, sebab banyak negara yang masih menggunakan batu bara sebagai tenaga pembangkit listrik. Termasuk Indonesia. Indonesia cenderung tertinggal dalam hal transisi meninggalkan penggunaan batu bara untuk listrik. Mengutip Ember Climate, pembangkit listrik tenaga hibrida Indonesia masih didominasi oleh batu bara, yakni sekitar 60% dari listrik yang dihasilkan.
Angka tersebut menempatkan Indonesia di peringkat keempat sebagai pemilik sektor pembangkit listrik paling padat batu bara di antara negara-negara G20. Sementara, sebanyak 23%merupakan pembangkit listrik minyak dan gas serta 17% lainnya merupakan energi hidro, bioenergi, dan energi terbarukan lainnya.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara hingga saat ini masih menjadi andalan RI dalam memenuhi kebutuhan energi. Pasalnya, batu bara sejauh ini masih menjadi sumber energi termurah di negara ini.
Dalam catatan PT PLN (Persero) sampai pada tahun 2030, kapasitas terpasang pembangkit listrik mencapai 99,2 Giga Watt (GW). Diantaranya 45% atau sebanyak 44,7 GW masih didominasi oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Sementara, pembangkit gas 26%, PLTA 15%, PLTP 6%, PLTS 5%, PLT EBT 2% dan PLT EBT Base 1%.
Lalu, Apakah bisa Indonesia lepas dari batu bara?
Berbicara net zero emission di tahun 2060 masih begitu panjang dan akan sangat berat tentunya bagi Indonesia. misalnya dari tenaga bayu (angin) dan tenaga surya, yang memiliki ketergantungan pada kondisi tertentu dan secara skala keekonomian masih harus ditingkatkan, serta tak semua titik di Indonesia ideal untuk membangun pembangkit EBT jenis tertentu.
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) perlu dikombinasikan dengan baterai untuk menghasilkan listrik lebih lama karena di malam hari tentu tidak ada serapan sinar matahari.
Namun, setidaknya dengan kesepakatan di G20 ini, Indonesia akan segera memulai percepatan percepatan tersebut sesuai dengan roadmap yang telah ditentukan.
Jika dilihat dari Rencana Usaha Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 kapasitas terpasang pembangkit terpasang di Indonesia untuk pembangkit energi bersih mencapai 63,3 GW dan 10 tahun mendatang. Ini tentunya menjadi peluang bisnis bagaimana Indonesia mengembangkan bisnis EBT.
Akan Ada yang Dikorbankan
Dari kesepakatan ini tentunya ada yang terkorbankan. Ya, batu bara. Perusahaan-perusahaan batu bara kini tengah terancam 'kiamat' batu bara dan merupakan takdir yang tidak dapat dihindarkan. Sejumlah perusahaan batu bara mulai melakukan diversifikasi bisnisnya baik secara moderat atau bahkan pivot dengan signifikan.
Sejumlah perusahaan mulai melakukan hilirisasi hingga penggunaan energi rendah karbon untuk keperluan operasi. Beberapa yang lain malah melangkah lebih jauh mulai dari mendirikan PLTS hingga masuk ke industri kendaraan listrik.
Salah satu contohnya dari perusahaan Holding BUMN. Ekspansi bisnis perusahaan ke sektor energi baru dan terbarukan terus bergulir. Salah satu wujud pengembangannya yakni PTBA bersama PT Jasa Marga (Persero) Tbk bekerja sama dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di jalan tol Jasa Marga Group.
Bentuk nyata dari implementasi kerjasama tersebut yakni pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Jalan Tol Bali-Mandara berkapasitas 400 Kilowatt-peak (kWp). PLTS di Jalan Tol Bali-Mandara yang telah selesai dibangun dan diresmikan.
PLTS yang dibangun PTBA melalui anak perusahaannya, PT Bukit Energi Investama (PT BEI), ini menjadi wujud konkret komitmen perusahaan untuk mengurangi emisi karbon global sekaligus dukungan terhadap presidensi G20 Indonesia yang dilaksanakan di Bali pada November 2022 ini.
Selain itu, PTBA melalui anak usahanya, PT BEI akan membangun PLTS untuk mendukung kegiatan operasional pabrik PT Semen Padang yang merupakan anak usaha SIG. Rencananya pembangunan PLTS mencakup PLTS Rooftop dan PLTS Ground Mounted yang ditargetkan beroperasi secara komersial (Commercial Operation Date/COD) pada tahun 2023 - 2024.
Kupas Paragraf Selanjutnya Komitmen Transisi Energi >>> Baca di halaman selanjutnya
Poin ketiga, tertuang dalam paragraf 13 di mana akan memperkuat niat para pemimpin G20 untuk menyelaraskan aksi iklim dengan tujuan 1,5 derajat.
Kesepakatan ini ada karena negara anggota G20 secara kolektif bertanggung jawab atas 75% gas rumah kaca global. Laporan Climate Transparency tahun 2021 mencatat bahwa untuk membatasi kenaikan suhu pada 1.5°C, G20 memiliki peran penting dengan berkomitmen pada target pengurangan emisi dan menerapkan kebijakan yang sejalan dengan jalur 1.5°C sesuai Perjanjian Paris.
Perjanjian Paris pada 2015 menetapkan dunia harus mempertahankan kenaikan suhu pada 1.5°C. Untuk mencapai hal ini, ilmuwan dalam Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan dunia harus mengurangi 45% emisi pada 2030 dan mencapai net zero pada 2050. Ini jika ingin menghindari dampak iklim yang katastrofik.
Bagaimana dengan Indonesia?
Analisis Carbon Brief pada Oktober 2021 mengungkap, Indonesia menempati peringkat keempat negara penghasil emisi terbesar dunia sejak 1850. Kontribusinya mencapai 4,1%
Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mencatat, emisi karbon Indonesia mencapai 932 ribu ton karbon dioksida (CO2e) pada 2001. Angka ini meningkat menjadi 1,15 juta ton CO2e pada 2017. Penyumbang terbesar adalah sektor energi dan kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU).
Pada 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan jumlah emisi karbon dioksida yang dihasilkan di Indonesia mencapai 1,262 gigaton. Di antaranya, 35% berasal dari listrik tenaga batu bara.
Pemerintah telah menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025. Hingga akhir 2021, Kementerian ESDM mengklaim telah mencapai 11,5% dari total energi nasional dan masih ada 11,5% atau 10 GW lagi hingga empat tahun mendatang.
Keempat, poin kesepakatan juga tertuang pada paragraf 16 yang menyerukan mobilisasi pendanaan iklim sesuai dengan janji negara maju untuk menyediakan dana sebesar 100 miliar dolar AS setiap tahunnya dari tahun 2020 sampai dengan 2025 dalam konteks mitigasi dan juga mendukung upaya untuk merumuskan kesepakatan global untuk dana adaptasi setidaknya 100 miliar dolar AS per tahun bagi negara berkembang.
Dalam hal ini, Pesiden Amerika Serikat Joe Biden mengungkapkan pihaknya dan negara-negara maju tergabung dalam G7 berkomitmen untuk mendanai hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun (asumsi kurs Rp 15.564 per US$) untuk mempercepat pelaksanaan transisi energi di Indonesia, khususnya untuk meninggalkan penggunaan batu bara sebagai sumber energi.
Dana ini tentunya untuk mendorong proyek berbasis energi terbarukan seperti mendukung pengembangan kendaraan listrik dan teknologi.
Biden juga mengungkapkan bahwa G7 secara resmi meluncurkan pendanaan global untuk infrastruktur dengan mobilisasi pendanaan hingga US$ 600 miliar untuk lima tahun ke depan. Dengan kesepakatan ini tentunya pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk melakukan transisi energi untuk mencapai ekonomi hijau.
Pertanyaannya, bagaimana pengelolaan uang sebanyak itu?
Pendanaan terkait transisi energi ini dengan skema kema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). Di mana Masing-masing angkanya adalah US$ 20 miliar (setara Rp310 triliun) untuk JETP dan US$ 250-300 juta (setara Rp3,87 triliun) untuk ETM.
Pendanaan transisi energi dalam KTT G20 yakni JETP dan ETM merupakan inisiatif terobosan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun yang perlu dicermati adalah beberapa persoalan yang bersifat teknis.
Bentuk JETP adalah pinjaman, maka perlu ada transparansi terkait proyek yang akan didanai secara rinci kepada publik. Selain itu JETP juga merupakan inisiasi dari negara-negara maju atau yang disebut sebagai G7, di mana di dalamnya ada keterlibatan aktif dari Amerika Serikat dan Jepang.
Peran keterlibatan publik juga menjadi isu yang sentral, termasuk pembelajaran dari pengalaman JETP di Afrika Selatan yang nilai komitmennya senilai US$ 8,5 miliar. Dan Indonesia akan menjadi penerima kedua, yang menariknya pendanaan itu berasal dari gabungan kerja sama negara-negara maju dengan lembaga multilateral, dan juga private sector.
Nilainya ditaksir US$ 20 miliar dari JETP yang ditujukan untuk melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Kendati demikian ada sebuah catatan di mana, dana tersebut cukup besar di tengah suku bunga yang meningkat, negara yang kesulitan mencari pendanaan
Ada sekitar 60% negara miskin yang terancam gagal bayar utang. Sedangkan untuk negara berkembang menurut IMF ada 25% yang mengalami kesulitan pembayaran utang. Sementara, Indonesia dijadikan sebagai salah satu project mendapatkan komitmen yang masih panjang untuk realisasinya
Oleh karena itu perlu upaya bersama untuk terus melakukan pengawasan terkait tata kelola serta peruntukan dana tersebut.
Terakhir, kesepakatan terkait transisi energi dibahas pada paragraf 17 dan 18, yang berisi Menegaskan perlunya berbagai instrumen pendanaan iklim dan mengakui penggunakan istrumen carbon pricing dan mekanisme non pricing lainya termasuk insentif dan memantapkan pembentukan pemantauan sustainable finance di dunia untuk memastikan penyalurannya untuk mendukung pencapaian nol emisi bersih.
Sorot Peran Perbankan
Dalam hal ini erat kaitannya dengan perbankan. Jika keseriusan transisi energi itu bertahan, perbankan dalam negeri mesti menyusun Road Map Sustainable Finance. Di dalamnya perbankan bida menyusun berbagai inisiatif pemberdayaan masyarakat. Hal ini harus dilakukan karena empowering people menjadi hal yang penting dalam menerapkan keuangan yang sustainable.
Sementara itu, perbankan harus memperkuat tata kelola perusahaan yang baik untuk mengacu pada standar internasional, sehingga road map strategi ESG tersebut dapat selaras untuk mendukung dan memperkuat visi perusahaan.
Road Map tersebut harus memiliki tahapan yang sudah dibuat dengan komprehensif, dan sejalan dengan target nasional maupun Global yaitu Sustainable Development Goals (SDGs), dan juga Paris agreement.
Dari poin-poin kesepakatan tersebut jika dijalankan dengan serius tentunya akan berbuah hasil yang manis meskipun prosesnya perlu diatur sedemikian rupa dalam jangka panjang.
Biaya untuk memulai transisi energi tidak murah. Suntikan dana lewat skema Kerja Sama Transisi Energi yang Adil atau JETP perlu dilakukan dengan transparan dan partisipatif agar dapat berjalan baik.
Kebijakan juga harus mampu menjembatani kepentingan negara berkembang dan negara maju. Tentu saja, kepentingan nasional adalah yang utama bagi pemerintah Indonesia, yakni pemulihan ekonomi yang inklusif, berdaya tahan, dan berkelanjutan.
TIM RISET CNBC INDONESIA