
Bedah Kesepakatan Transisi Energi G20! Siap Tanpa Batu Bara?

Poin ketiga, tertuang dalam paragraf 13 di mana akan memperkuat niat para pemimpin G20 untuk menyelaraskan aksi iklim dengan tujuan 1,5 derajat.
Kesepakatan ini ada karena negara anggota G20 secara kolektif bertanggung jawab atas 75% gas rumah kaca global. Laporan Climate Transparency tahun 2021 mencatat bahwa untuk membatasi kenaikan suhu pada 1.5°C, G20 memiliki peran penting dengan berkomitmen pada target pengurangan emisi dan menerapkan kebijakan yang sejalan dengan jalur 1.5°C sesuai Perjanjian Paris.
Perjanjian Paris pada 2015 menetapkan dunia harus mempertahankan kenaikan suhu pada 1.5°C. Untuk mencapai hal ini, ilmuwan dalam Panel Antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan dunia harus mengurangi 45% emisi pada 2030 dan mencapai net zero pada 2050. Ini jika ingin menghindari dampak iklim yang katastrofik.
Bagaimana dengan Indonesia?
Analisis Carbon Brief pada Oktober 2021 mengungkap, Indonesia menempati peringkat keempat negara penghasil emisi terbesar dunia sejak 1850. Kontribusinya mencapai 4,1%
Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mencatat, emisi karbon Indonesia mencapai 932 ribu ton karbon dioksida (CO2e) pada 2001. Angka ini meningkat menjadi 1,15 juta ton CO2e pada 2017. Penyumbang terbesar adalah sektor energi dan kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU).
Pada 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan jumlah emisi karbon dioksida yang dihasilkan di Indonesia mencapai 1,262 gigaton. Di antaranya, 35% berasal dari listrik tenaga batu bara.
Pemerintah telah menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025. Hingga akhir 2021, Kementerian ESDM mengklaim telah mencapai 11,5% dari total energi nasional dan masih ada 11,5% atau 10 GW lagi hingga empat tahun mendatang.
Keempat, poin kesepakatan juga tertuang pada paragraf 16 yang menyerukan mobilisasi pendanaan iklim sesuai dengan janji negara maju untuk menyediakan dana sebesar 100 miliar dolar AS setiap tahunnya dari tahun 2020 sampai dengan 2025 dalam konteks mitigasi dan juga mendukung upaya untuk merumuskan kesepakatan global untuk dana adaptasi setidaknya 100 miliar dolar AS per tahun bagi negara berkembang.
Dalam hal ini, Pesiden Amerika Serikat Joe Biden mengungkapkan pihaknya dan negara-negara maju tergabung dalam G7 berkomitmen untuk mendanai hingga US$ 20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun (asumsi kurs Rp 15.564 per US$) untuk mempercepat pelaksanaan transisi energi di Indonesia, khususnya untuk meninggalkan penggunaan batu bara sebagai sumber energi.
Dana ini tentunya untuk mendorong proyek berbasis energi terbarukan seperti mendukung pengembangan kendaraan listrik dan teknologi.
Biden juga mengungkapkan bahwa G7 secara resmi meluncurkan pendanaan global untuk infrastruktur dengan mobilisasi pendanaan hingga US$ 600 miliar untuk lima tahun ke depan. Dengan kesepakatan ini tentunya pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk melakukan transisi energi untuk mencapai ekonomi hijau.
Pertanyaannya, bagaimana pengelolaan uang sebanyak itu?
Pendanaan terkait transisi energi ini dengan skema kema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). Di mana Masing-masing angkanya adalah US$ 20 miliar (setara Rp310 triliun) untuk JETP dan US$ 250-300 juta (setara Rp3,87 triliun) untuk ETM.
Pendanaan transisi energi dalam KTT G20 yakni JETP dan ETM merupakan inisiatif terobosan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun yang perlu dicermati adalah beberapa persoalan yang bersifat teknis.
Bentuk JETP adalah pinjaman, maka perlu ada transparansi terkait proyek yang akan didanai secara rinci kepada publik. Selain itu JETP juga merupakan inisiasi dari negara-negara maju atau yang disebut sebagai G7, di mana di dalamnya ada keterlibatan aktif dari Amerika Serikat dan Jepang.
Peran keterlibatan publik juga menjadi isu yang sentral, termasuk pembelajaran dari pengalaman JETP di Afrika Selatan yang nilai komitmennya senilai US$ 8,5 miliar. Dan Indonesia akan menjadi penerima kedua, yang menariknya pendanaan itu berasal dari gabungan kerja sama negara-negara maju dengan lembaga multilateral, dan juga private sector.
Nilainya ditaksir US$ 20 miliar dari JETP yang ditujukan untuk melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Kendati demikian ada sebuah catatan di mana, dana tersebut cukup besar di tengah suku bunga yang meningkat, negara yang kesulitan mencari pendanaan
Ada sekitar 60% negara miskin yang terancam gagal bayar utang. Sedangkan untuk negara berkembang menurut IMF ada 25% yang mengalami kesulitan pembayaran utang. Sementara, Indonesia dijadikan sebagai salah satu project mendapatkan komitmen yang masih panjang untuk realisasinya
Oleh karena itu perlu upaya bersama untuk terus melakukan pengawasan terkait tata kelola serta peruntukan dana tersebut.
Terakhir, kesepakatan terkait transisi energi dibahas pada paragraf 17 dan 18, yang berisi Menegaskan perlunya berbagai instrumen pendanaan iklim dan mengakui penggunakan istrumen carbon pricing dan mekanisme non pricing lainya termasuk insentif dan memantapkan pembentukan pemantauan sustainable finance di dunia untuk memastikan penyalurannya untuk mendukung pencapaian nol emisi bersih.
Sorot Peran Perbankan
Dalam hal ini erat kaitannya dengan perbankan. Jika keseriusan transisi energi itu bertahan, perbankan dalam negeri mesti menyusun Road Map Sustainable Finance. Di dalamnya perbankan bida menyusun berbagai inisiatif pemberdayaan masyarakat. Hal ini harus dilakukan karena empowering people menjadi hal yang penting dalam menerapkan keuangan yang sustainable.
Sementara itu, perbankan harus memperkuat tata kelola perusahaan yang baik untuk mengacu pada standar internasional, sehingga road map strategi ESG tersebut dapat selaras untuk mendukung dan memperkuat visi perusahaan.
Road Map tersebut harus memiliki tahapan yang sudah dibuat dengan komprehensif, dan sejalan dengan target nasional maupun Global yaitu Sustainable Development Goals (SDGs), dan juga Paris agreement.
Dari poin-poin kesepakatan tersebut jika dijalankan dengan serius tentunya akan berbuah hasil yang manis meskipun prosesnya perlu diatur sedemikian rupa dalam jangka panjang.
Biaya untuk memulai transisi energi tidak murah. Suntikan dana lewat skema Kerja Sama Transisi Energi yang Adil atau JETP perlu dilakukan dengan transparan dan partisipatif agar dapat berjalan baik.
Kebijakan juga harus mampu menjembatani kepentingan negara berkembang dan negara maju. Tentu saja, kepentingan nasional adalah yang utama bagi pemerintah Indonesia, yakni pemulihan ekonomi yang inklusif, berdaya tahan, dan berkelanjutan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)