Presidensi G20 Indonesia 2022

Panas Dingin & Duri Dalam Daging Negara Jelang G20 Bali

mae, CNBC Indonesia
14 November 2022 15:02
Cover Headline, Biden vs Putin
Foto: Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Wakil Presiden AS Joe Biden (4/12/2020). (AP/Lintao Zhang)

Jakarta, CNBC Indonesia - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan dimulai pada Selasa-Rabu (15-16/11/2022) di Nusa Dua, Bali. Puluhan pimpinan negara dari G-20 pun akan duduk bersama di tengah banyaknya friksi dan ketegangan di antara mereka sendiri.

Kendati tahun ini KTT G-20 mengusung tema kebersamaan Recover Together, Recover Stronger, semua pasti mahfum jika KTT G-20 tahun ini digelar di tengah suasana yang jauh dari nuansa harmonis.

Perang Rusia-Ukraina, lonjakan harga minyak, persoalan gas di Eropa, persoalan Taiwan, dan saling tuding pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) membuat pertemuan G-20 ini akan berlangsung tidak biasa.

Kelompok G-20 sendiri terdiri dari 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa, Amerika Serikat (AS) dan China, Afrika Selatan, Argentina, Arab Saudi, Australia, India, Brasil, Inggris, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Meksiko, Kanada, Republik Korea, Perancis, Rusia, Tiongkok, dan Turki.

Dari anggota G-20 saat ini, Rusia kini tengah menjadi "musuh bersama". Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa adalah negara yang dengan lantang menyuarakan protes invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022.

Protes ini berujung pada sanksi ekonomi hingga larangan terbang. Salah satunya adalah keputusan Jepang dan Uni Eropa yang menghentikan impor batu bara dari Rusia pada Agustus lalu.



Rusia dan Uni Eropa juga bersitegang dalam soal pengadaan gas. Rusia memangkas untuk kemudian menghentikan total pasokan gas ke Uni Eropa melalui jaringan Nord Stream 1 yang membuat kawasan ekonomi tersebut kelabakan.

Hubungan Uni Eropa dan Rusia juga mendidih setelah jaringan gas Nord Stream 1 yang sempat meledak meledak pada akhir September. Isu sabotase muncul di tengah ledakan pipa tersebut.

Harga gas alam Eropa melonjak tajam, tagihan listrik melesat, dan sejumlah negara terpaksa mengambil kebijakan tidak populer. Salah satunya adalah dengan menghidupkan kembali pembangkit listrik batu bara.

Lonjakan harga energi juga membuat Jerman terpaksa merogoh anggaran hingga 27,5 miliar euro untuk meredam dampak kenaikan harga gas. Inggris juga menggelontorkan anggaran subsidi energi sebesar Rp 2.751 triliun.


Rusia ogah memasok kembali gas ke Uni Eropa selama sanksi ekonomi kepada Negara Beruang Merah belum dicabut. Sebaliknya, Uni Eropa tetap bersikukuh kepada sanksi. Rusia juga tentu saja dimusuhi AS karena Negara Paman Sam melihat invasi Rusia ke Ukraina illegal.

Presiden AS Joe Biden bahkan sudah menegaskan jika dia tidak sudi bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Meruncingnya ketegangan Dunia Barat dengan Rusia bahkan membuat kehadiran Putin di Bali menjadi isu politik yang sangat besar.

"Sebelumnya masalah siapa yang akan hadir di G-20 sebetulnya tidak menjadi polemik. Namun, khusus tahun ini, masalah kehadiran pemimpin dunia menjadi isu yang sangat politis karena invasi Rusia ke Ukraina," tutur Mantan Duta Besar RI untuk AS Dino Patti Djalal, dalam saluran Youtube Sekretariat FPCI.

Status sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan super power tak selalu membuat AS disukai banyak negara. Kebijakan ekonomi dan politik Paman Sam bahkan kerap membuat negara lain merugi dan meradang.

Dari semua anggota G-20, AS paling sering bersitegang dengan China. Namun, seperti pepatah tidak ada sekutu yang abadi. Arab Saudi yang selama ini dikenal sekutu dekat AS malah tengah berbalik memusuhi Paman Sam.

Ketegangan China dan Amerika pada tahun ini dipicu oleh sejumlah isu mulai dari kunjungan Ketua DPR Nancy Pelosi ke Taiwan pada awal Agustus, larangan ekspor chip AS ke China, dan persoalam muslim Uighur.

Kunjungan Pelosi ke Taiwan pada Agustus lalu membuat China langsung mengintensifkan latihan militer. Aktivitas ini langsung membuat geopolitik kawasan Pasifik memanas.

China menuduh kunjungan Pelosi adalah bentuk provokasi AS sebagai bentuk dukungan kemerdekaan Taiwan. Padahal, China menganggap Taiwan sebagai wilayah kekuasannya.

Ketegangan China dan Amerika memasuki babak baru pada Oktober saat Presiden Biden melarang ekspor semikonduktor ke China. Langkah tersebut dinilai sebagai upaya Negara Paman Sam mengurangi kedigdayaan China di bidang ekonomi.

Kebijakan larangan ekspor akan mengurangi transfer teknologi dari Amerika Serikat ke China. Selain itu, kemampuan China untuk memproduksi semikonduktor akan menurun.

AS juga bersitegang dengan China lagi setelah munculnya rumusan "Uighur Forced Labor Prevention Act" atau "Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur" oleh AS.
China menilai hal tersebut sebagai bentuk kebohongan AS karena tidak ada kerja paksa.

Selain dengan China, Amerika juga bersitegang Arab Saudi karena persoalan minyak dan tudingan HAM.

Seperti diketahui, awal Oktober lalu Arab Saudi dan kartel OPEC+ memangkas produksi minyak demi menjaga harga.  Keputusan itu membuat Presiden Biden marah karena upaya AS untuk meredam harga minyak terganggu. AS sendiri memutuskan untuk melepas cadangan minyak strategis mereka demi menekan lonjakan harga minyak.

Hubungan kedua negara juga memburuk setelah Pangeran Arab Saudi Abdullah bin Faisal al Saud dipenjara setelah kembali dari AS. Abdullah dipenjara karena komentarnya tentang negaranya. Bahkan, warga Arab Saudi yang tengah tinggal di AS juga dilaporkan sedang menjadi sasaran penangkapan karena komentarnya tentang kerajaan.

AS menilai langkah Arab Saudi ini melanggar HAM.

Selain dengan China, Rusia, dan Arab Saudi, Amerika Serikat juga bersitegang dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. AS kesal dengan Turki yang bersikap netral terhadap invasi Rusia ke Ukraina dan ogah menjadikan Rusia sebagai musuhnya.

Kedua negara juga sempat bersitegang karena Turki tidak kunjung memberi lampu hijau Swedia dan Finlandia masuk NATO.

Ketegangan di antara anggota G-20 tidak hanya terjadi di antara mereka yang berbeda benua. Ketegangan juga terjadi di sesama negara Benua Biru.

Dua pemimpin tetringgi Uni Eropa yakni Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen bahkan tidak ragu untuk "perang" terbuka.

Perbedaan ideologi terkait imigran Syria hingga posisi China di perekonomian global sudah lama membuat Ursula dan Charles bersebrangan.

Begitu tidak akurnya kedua pemimpin negara tersebut, staf mereka sudah diwanti-wanti untuk mengurangi jadwal yang berbarengan selama menghadiri KTT G-20 di Bali. Perjalanan mereka juga dijadwalkan dengan sangat ketat agar tidak berbarengan.


Puncak perseteruan Ursula dan Charles pada tahun ini adalah usulan batasan harga gas. Charles sudah menolak usulan Ursula terkait batasan harga gas Eropa.

Harga gas juga membuat Uni Eropa terbelah di antara dua kubu yakni kubu pro dan kontra terhadap batasan harga.

Sebanyak 15 negara mengusulkan batas harga gas sebagai upaya mereda harga. Di antaranya adalah Belgia, Bulgaria, Kroasia, Prancis, Yunani, Italia, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, dan Spanyol.

Sementara itu, 13 negara lain menolak menolak batas harga gas karena bisa menimbulkan gejolak di pasar energi. Ke-14 negara yang menolak di antaranya adalah Jerman, Austria, Denmark, dan Belanda.

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular