Tak Resesi Tapi PHK Massal Terjadi, Ada Apa Ekonomi RI?

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan penurunan permintaan ekspor menjadi salah satu alasan banyaknya PHK, terutama di sektor tekstil.
"Pelemahan permintaan global ini tentu akan menahan laju ekspor Indonesia ke depan, dan kondisi ini juga mulai berdampak pada beberapa industri, khususnya terkait dengan sektor tekstil dan produk tekstil," ungkap Airlangga dalam konferensi pers, Senin (7/11/2022).
Senada, Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF ) Tauhid Ahmad mengatakan perlambatan ekonomi global membuat pertumbuhan sektor tertentu melambat sehingga PHK tidak bisa terhindarkan.
Seperti diketahui, ekonomi global diperkirakan melambat pada tahun ini. Dua raksasa ekonomi yang menjadi sumber pertumbuhan dunia yakni China dan Amerika Serikat (AS) juga tengah pincang.
Ekspor China ke seluruh dunia pada Oktober melandai 0,3% (year on year(yoy)) dan ambruk 7,5% (month to month/mtm). Kondisi ini berbanding terbalik dengan kenaikan 5,7% (yoy) pada September. Sementara itu, total impor barang China pada Oktober melandai 0,7% (yoy) dan ambruk 10,4% (mtm).
Ekonomi China diperkirakan hanya akan tumbuh di kisaran 3-4% pada tahun ini, jauh melandai dibandingkan 8,1% pada 2021. Ekonomi AS bahkan sempat memasuki resesi secaar teknikal pada kuartal II-2022. Negara tujuan ekspor lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan kawasan Eropa juga melambat ekonominya.
Kendati ekspor ke China dan AS secara keseluruhan masih melaju kencang. Namun, kenaikan ekspor tidak dirasakan semua sektor.
Data Kementerian Perdagangan mencatat ada sejumlah sektor yang ekspornya mengalami penurunan tajam. Ekspor serat tekstil dan benang kertas anjlok 25% pada periode Januari-September 2022 sementara ekspor wol dan bulu hewan juga anjlok 12,7% pada Januari-September 2022.
Dia juga menjelaskan alasan lain dari rendahnya penyerapan tenaga kerja setelah pandemi adalah karena investasi hanya tumbuh tinggi di sektor tersier. Konsumsi rumah tangga juga tidak merata ke sejumlah sektor.
"Investasi yang masuk itu investasi yang banyak di sektor tersier yang jumlah tenaga kerjanya relatif sedikit," tutur Ahmad Tauhid, kepada CNBC Indonesia.
Menurutnya, pertumbuhan sangat tinggi terjadi pada sektor pertambangan karena lonjakan harga komoditas. Sebaliknya, sektor primer seperti makanan dan pakaian jadi malah turun.
Data BPS menunjukkan ada penurunan pertumbuhan yang sangat besar pada industri tekstil serta makanan dan minuman.
Pada 2019, rata-rata pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman jadi menembus 7,78%. Sementara itu, industri pengolahan tembakau tumbuh 3,36% dan industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 15,35%. Industri furnitur rata-rata tumbuh sebesar 5,17%, serta sektor konstruksi sebesar 5,76%.
Sektor-sektor tersebut adalah yang menyerap banyak tenaga kerja atau padat karya.
Pada kuartal III- 2022, secara tahunan (yoy) industri makanan dan minuman secara kumulatif hanya tumbuh 3,6% sementara industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh 8,1%. Industri tembakau terkontraksi 2,9% dan industri furnitur terkontraksi 3,9%. Sektor konstruksi hanya tumbuh 0,63%.
(mae/mae)