Industri Sepatu RI 'Berdarah-darah', Order Ekspor Anjlok 50%

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
01 November 2022 17:00
Pekerja menyelesaikan pembuatan sepatu gunung di workshop sepatu gunung mokzhaware di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Senin (7/6/2021). Bahan yang digunakan terbuat dari bahan baku kulit Nubuck. Dalam sehari pabrik ini bisa memproduksi 50 pasang sepatu. Usmar Ismail (42) mendirikan sebuah brand lokal di bidang fashion sepatu sekitar tahun 2016 lalu. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan para pengusaha untuk bisa bertahan di tengah pandemi covid-19, yang pertama adalah terus melakukan inovasi dan tanggap terhadap kebutuhan market online," jelasnya Usmar Ismail. Kedua, pengusaha harus mengetahui dan menguasai nilai keunikan dari produk yang dikeluarkan. Jika hal itu sudah menyatu dengan konsumen, otomatis hal ini menjadi identitas dari brand yang dikembangkan. Dan terakhir, penjual harus cekatan dalam menangani keluhan dari para pelanggan. Hal ini akan memiliki nilai baik untuk meningkatkan loyalitas terhadap suatu produk. Saat ini, usahanya terus berkembang dan membuatnya merekrut banyak pegawai. Saat ini jumlah pegawainya sudah lebih dari 30 orang. Sebelumnya, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mendata peredaran alas kaki di pasar ritel berada di posisi 50-75 persen menuju kondisi prapandemi Covid-19. Namun, utilisasi industri alas kaki nasional masih berada di bawah level 40 persen. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Pembuatan Sepatu. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengungkapkan, industri alas kaki (sepatu) di Tanah Air tengah terkena imbas krisis ekonomi global.

Hiperinflasi di negara-negara tujuan ekspor, kata dia, telah menyebabkan permintaan anjlok sampai 50%.

"Kondisi global saat ini serba tak pasti. Kita belum tahu akan seberapa besar nanti terjadi efek resesi global ini. Yang pasti, laporan ke kami sudah ada penurunan order ekspor sampai 50%," kata Firman kepada CNBC Indonesia, Selasa (1/11/2022).

"Kita bicara soal pemicu kondisi selama tahun 2022 ini. Sampai Lebaran 2022 ini kondisi masih bagus, ekspor masih tumbuh sampai 36%. Tapi kemudian hiperinflasi di negara tujuan ekspor bikin serba nggak pasti," tambah dia.

Konsumen di negara tujuan ekspor, jelas dia, lebih mengutamakan belanja energi dan makanan.

"Stok di sana menumpuk, akibatnya belum bisa terima barang dari kita," kata Firman.

Sebenarnya, imbuh dia, gelagat itu sudah kelihatan sejak bulan Juli 2022.

"Tapi, karena di data ekspor kita masih kelihatan tumbuh, jadi nggak kelihatan kalau sebenarnya stok kita sudah menumpuk banyak. Penurunan ekspornya belum terpantau pemerintah karena di data BPS sampai Agustus 2022 saja kita maih tumbuh 36%," kata Firman.

"Kami terus memantau sampai seberapa luas nanti efek resesi global ini. Kemungkinan, sampai semester I tahun 2023, order ekspor masih akan anjlok 50-an persen," pungkas Firman.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Ramal 2023 Suram, Pengusaha Sepatu Harap-harap Cemas

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular