Disparitas Harga Tinggi, Waspada Migrasi BBM ke Solar Subsidi

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
01 November 2022 12:10
Anteran warga membeli bahan bakar Pertalite dan solar yang mulai sulit ditemukan pada beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di SPBU di kawasan Jalan Raya Bogor, Sabtu (13/8/202). (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana)
Foto: Anteran warga membeli bahan bakar Pertalite dan solar yang mulai sulit ditemukan pada beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di SPBU di kawasan Jalan Raya Bogor, Sabtu (13/8/202). (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penyedia Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri, PT Pertamina (Persero) kembali melakukan penyesuaian harga untuk beberapa jenis BBM non subsidi.

Penyesuaian harga tersebut diberlakukan per hari ini, Selasa, 1 November 2022 pada produk Dexlite, Pertamina Dex, dan Pertamax Turbo.

Adapun harga yang dipasang di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya untuk jenis bensin Pertamax Turbon (RON 98) kini dibanderol Rp 14.300 per liter, turun dari Rp 14.940 per liter pada periode penjualan Oktober 2022.

Namun, untuk jenis Solar non subsidi seperti Dexlite dan Pertamina Dex justru mengalami kenaikan harga per 1 November 2022 ini. Harga Dexlite kini dibanderol Rp 18.000 per liter, naik dari sebelumnya yang dijual pada periode Oktober 2022 sebesar Rp 17.800 per liter.

Kemudian, untuk jenis Pertamina Dex kini dijual seharga Rp 18.550 per liter, naik dari sebelumnya seharga Rp 18.100 per liter.

Semakin mahalnya harga Solar non subsidi ini semakin membuat selisih dengan harga Solar subsidi semakin jauh. Pasalnya, harga Solar subsidi kini masih dibanderol sebesar Rp 6.800 per liter. Artinya, ada perbedaan harga hingga Rp 11.200 - Rp 11.750 per liter antara Solar subsidi dan non subsidi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, jauhnya perbedaan antara harga Solar subsidi dan non subsidi ini berpotensi membuat konsumen Solar non subsidi beralih ke Solar subsidi.

"Dengan disparitas yang semakin besar, saya kira sangat terbuka potensi tersebut (perpindahan Solar non subsidi ke Solar subsidi). Selisih harga akan menjadi insentif untuk bermigrasi," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (1/11/2022).

Menyikapi potensi perpindahan konsumen ke BBM Solar subsidi ini, Komaidi mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dengan kebijakan penyesuaian harga.

Pasalnya, pemerintah tidak bisa menyalahkan konsumen yang memilih migrasi ke BBM subsidi yang harga jualnya lebih murah. Hal tersebut dikarenakan batasan yang tidak jelas dan regulasi yang masih longgar.

"Pemerintah perlu hati-hati dalam hal ini. Menjadi relevan untuk Solar subsidi agar dipertegas siapa saja yang berhak. Jika regulasi masih longgar, tentu tidak bisa menyalahkan konsumen yang migrasi," ucapnya.

Dia menilai, saat ini batasan untuk konsumen BBM subsidi maupun non subsidi hanya masalah norma atau rasa pantas atau tidaknya. Oleh karena itu, regulasi penerima BBM subsidi harus segera dipertegas.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Formula Diubah, Harga BBM Solar Terdampak? Ini Kata Pertamina

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular