Hati-hati! Ekonomi Asia Pasifik Dihadang 3 Badai Ini

Anisa Sopiah, CNBC Indonesia
28 October 2022 13:15
The International Monetary Fund (IMF) logo is seen outside the headquarters building in Washington, U.S., as IMF Managing Director Christine Lagarde meets with Argentine Treasury Minister Nicolas Dujovne September 4, 2018. REUTERS/Yuri Gripas
Foto: Logo Dana Moneter Internasional (IMF) (REUTERS/Yuri Gripas)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi wilayah Asia Pasifik dipastikan kehilangan momentum pertumbuhan kuat. Hal ini disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dalam konferensi pers, IMF's Regional Economic Outlook untuk Kawasan Asia Pasifik, pada Jumat (28/10/2022).

Setelah mencetak rebound kuat sebesar 6,5 persen yang diposting pada tahun 2021, pertumbuhan di Asia dan Pasifik diperkirakan akan moderat menjadi 4,0 persen pada 2022 dan meningkat tipis menjadi 4,3% pada 2023.

Menurut IMF, kondisi perlambatan pada 2022 dan 2023 ini dipicu oleh lingkungan global yang tidak pasti akibat pengetatan likuiditas, perang di Ukraina dan perlambatan ekonomi China.

"Kami telah memangkas perkiraan pertumbuhan untuk Asia dan Pasifik menjadi 4 persen tahun ini dan 4,3 persen tahun depan-masing-masing turun 0,9 dan 0,8 poin persentase, dibandingkan dengan World Economic Outlook April yang jauh di bawah rata-rata 5,5 persen selama dua dekade terakhir," kata Krishna Srinivasan, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, dalam paparannya.

Meskipun demikian, Krishna menegaskan Asia relatif tetap menjadi titik terang dalam ekonomi global yang semakin meredup.

Di tengah kondisi ini, IMF mengingatkan 3 tantangan besar yang akan mendorong ekonominya turun. tantangan pertama adalah pengetatan keuangan global. Federal Reserve, kata Krishna, menjadi jauh lebih agresif dalam memperketat kebijakan moneter mereka karena inflasi AS tetap tinggi.

"Ini telah diterjemahkan ke dalam kondisi keuangan yang lebih ketat untuk Asia," ungkapnya.

Tantangan kedua adalah perang di Ukraina. IMF menilai dampak utama di Asia adalah melalui harga komoditas, yang melonjak setelah invasi dan tetap tinggi.
"Sebagian besar-tetapi tidak semua-negara di Asia telah mengalami penurunan nilai tukar perdagangan mereka, dan ini telah menjadi faktor penting di balik depresiasi mata uang sepanjang tahun ini," papar Krishna.

Tantangan ketiga adalah perlambatan tajam dan tidak seperti biasanya di China. IMF telah menurunkan proyeksi pertumbuhan China untuk 2022 menjadi 3,2 persen, level terendah kedua sejak 1977.

"Proyeksi ini mencerminkan dampak penguncian nol-Covid pada mobilitas dan krisis di sektor real estat. Perlambatan ini diperkirakan memiliki dampak penting ke seluruh Asia melalui hubungan perdagangan dan keuangan," katanya.

Selain tiga tantangan ini, IMF mengingatkan risiko inflasi di Asia. Meski diperkirakan inflasi di kawasan Asia Pasifik lebih rendah selama tahun 2021 daripada di kawasan lain, inflasi tetap membebani Asia Pasifik.

"Gejolak tajam volatilitas di pasar komoditas global setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari memberikan tekanan tambahan pada inflasi utama Asia pada paruh pertama tahun 2022," ujarnya.

Peningkatan ini telah didorong oleh kenaikan harga pangan dan bahan bakar, khususnya di pasar negara berkembang Asia dan ekonomi berkembang. Krishna menegaskan kondisi ini mencerminkan inflasi inti yang lebih tinggi seiring pemulihan kawasan.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Resesi Semakin Nyata, Indonesia Kena Getahnya?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular