Likuiditas Valas RI Kering Begini Saran Ekonom, Simak!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Senin, 24/10/2022 21:05 WIB
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mengakui saat ini likuiditas valuta asing atau valas terbatas alias kering. Mengeringnya likuiditas di tanah air, dinilai harus segera diantisipasi agar tak mengganggu laju pertumbuhan ekonomi.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan kredit yang diberikan kepada pihak ketiga atau Loan to Deposit Ratio (LDR) dalam valas meningkat. Sayangnya, kata Josua, LDR valas yang meningkat tidak diimbangi dengan pertumbuhan simpanan atau Dana Pihak Ketiga (DPK) valas.

"Dipengaruhi kenaikan harga komoditas global, likuiditas dari LDR valas perbankan cenderung meningkat, di tengah kredit valas yang tercatat tumbuh cepat dibandingkan dengan pertumbuhan DPK valas," jelas Josua kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (24/10/2022).


Pernyataan Josua tersebut didukung dari data BI yang mencatat, pada September 2022, pertumbuhan kredit valas tumbuh double digit atau sebesar 18,1%, sementara pertumbuhan penghimpunan DPK valas hanya mencapai 8,4%.

Josua pun meyakini BI akan terus mengelola likuiditas valas dengan melakukan triple intervention di pasar spot valas. Namun, menurut Josua otoritas perlu mengambil langkah lanjutan untuk menegakkan implementasi Devisa Hasil Ekspor (DHE).

"Dalam rangka mengelola keseimbangan pasokan dan permintaan valas domestik, regulator perlu mendorong penguatan implementasi devisa hasil ekspor, terutama ekspor sumber daya alam," ucap Josua.

Senada, Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan otoritas harus mencegah paling tidak jangan sampai ada dana asing yang keluar dari Indonesia. Bahkan apabila memungkinkan agar DHE para eksportir harus masuk dan parkir di dalam negeri. "DHE harus masuk, dan harus diperketat lagi aturannya," jelas David.

Selain itu, otoritas juga diminta untuk mengencerkan investasi penanaman modal asing ke dalam negeri. David menilai, beberapa aturan yang ada saat ini membuat investor enggan untuk berinvestasi di dalam negeri.

Usai Omnibus Law Cipta Kerja digugat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa beleid harus segera dibenahi agar memberikan kepastian hukum untuk investor.

Adapun untuk BI, David mendorong agar dalam transaksi investasi dan perdagangan antar negara bisa menggunakan mata uang lokal atau biasa disebut Local Currency Settlement (LCS). "Untuk tidak mendorong penggunaan LCS dalam transaksi perdagangan dan investasi. Saat ini kebijakan LCS belum optimal dan harus didorong terus," jelas David.

Kendati demikian, David meyakini bahwa situasi keringnya likuiditas dolar AS di dalam negeri saat ini hanya akan terjadi sesaat. Tahun depan akan kembali normal. "Tahun depan akan kembali normal. Jadi pasti akan kembali (dana asing ke dalam negeri). Tinggal tunggu saja kapan ini bisa kembali normal," jelas David lagi.

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah juga mengatakan hal yang sama. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memperkuat valas di dalam negeri, menurut Piter dengan mewajibkan para eksportir bukan hanya memikirkan dolar-nya di tanah air, tapi harus menjualnya ke negara.

"Yang bisa dilakukan adalah mewajibkan eksportir untuk menjual dolar mereka ke negara, menukarkannya menjadi rupiah. Terutama untuk perusahaan-perusahaan pertambangan yang saat ini menikmati harga komoditas tinggi," jelas Piter.

Meskipun saat ini sanksi penerapan DHE juga sudah mulai dilakukan oleh otoritas, Piter memandang implementasi DHE belum memberikan andil yang banyak untuk menambah pundi dolar AS ke tanah air.

"(DHE) Belum optimal, karena kewajibannya masih terbatas menempatkan di bank dalam negeri walaupun hanya sebentar. Belum ada kewajiban menukarkannya ke rupiah," kata Piter lagi.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Tok! MK Putuskan Pemilu Nasional & Pilkada Dilakukan Terpisah


Related Articles