2030 Jadi 'Kiamat' di Pantura, Fenomena Atlantis Bermunculan
Jakarta, CNBC Indonesia - Sebagian besar wilayah Pantai Utara (Pantura) pulau Jawa diprediksi bakal tenggelam di 2030 mendatang. Deteksi risiko lembaga nirlaba internasional, Climate Central menunjukkan, bakal muncul fenomena 'Atlantis' atau tanah hilang akibat semakin tingginya air di sejumlah daerah di Pantura tersebut
Peta interaktif Climate Central menunjukkan, daerah-daerah di Pantura ini posisinya bakal terendam alias berada di bawah level air pasang laut. Dan, terpantau, luasannya bertambah, setidaknya dalam periode tahun 2030 hingga 2060.
Terpantau di peta Climate Central, daerah yang rawan terendam di tahun 2030 adalah Cilegon, sepanjang pantai hingga ke Pasir Putih. Beberapa lokasi yang terancam terkena dampak diantaranya PLTU Jawa 7, Taman Nasional, juga pabrik tepung terigu
Selain itu juga terdeteksi air bakal merendam wilayah Domas, Tanar, hingga Ketapang.
Ancaman air pasang melampaui batas tinggi daratan juga mengancam sebagian besar wilayah di Jawa Barat. Mulai dari Marunda, sampai Polsek Muara Gembong Bekasi, Tabebuya Bagedor, hingga sampai merendam wilayah-wilayah jangkauan Sungai Citarum.
Bahkan, berlanjut menggenangi wilayah sampai ke pantai pasir putih Cilamaya, Karawang.
Fenomena air merendam wilayah Pantura bak 'Atlantis' ini pun berlanjut sampai ke sebagian wilayah di Pamanukan, kemudian, Kandanghaur, sebagian besar Cangkring, Indramayu.
Kemudian, tampak pada peta, titik merah juga mewarnai wilayah di Jawa Tengah, yaitu sebagian di Klampok, Brebes, Sigedang, lalu sebagian besar wilayah Demak, Wedung, kemudian wilayah Pati.
Sebagian besar wilayah Lamongan, dan juga sebagian Surabaya pun tak luput dari ancaman fenomena 'Atlantis'.
Pengamat Tata Kelola Kota dari Universitas Pakuan (Unpak) Budi Arief, mengatakan pembangunan wilayah Jawa Barat memang dimulai dari Pantai Utara sebagai wilayah pemukiman dan pusat pertumbuhan. Sedangkan wilayah Selatan Jawa untuk pertanian dan perkebunan.
"Masing-masing kota punya daya tampung lingkungan. dan ada pengaruh iklim juga. jelas seharusnya pembangunan perkotaan memang harus menerapkan buffer zone," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (24/10/2022).
Menurutnya harus ada jarak antara wilayah pantan dan pembangunan, khususnya di wilayah Pantai Utara.
"Buffer zone ini wajib untuk wilayah sekitar pantai, sekian meter tidak boleh ada pembangunan. tapi saya lihat memang, ini belum diterapkan di sepanjang Pantura," jelasnya.
Menurutnya pembangunan suatu kota harus memperhitungkan risiko terjadinya tsunami. Sehingga buffer zone itu dibutuhkan untuk menjaga infrastruktur di sekitar pantai.
Hanya saja, imbuh dia, memang dibutuhkan kemauan dan politik anggaran untuk memberlakukan standar tersebut sebagai sesuatu yang baku.
"Karena justifikasi akan menimbulkan masalah. Ini menjadi area abu-abu. Harus ada komitmen, misalnya sudah ada pemetaan. Tiba-tiba ada developer membangun pabrik di kawasan pemukiman. Seharusnya ada master plan tadi, pemetaan kawasan fungsi tata ruang," pungkas Budi.
(dce)