Puluhan Ribu Pekerja Kena PHK, Inikah Tanda-tanda Resesi?

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
Minggu, 23/10/2022 16:00 WIB
Foto: Infografis/Besaran Total Pesangon Korban PHK/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar tidak menyenangkan datang dari manufaktur Indonesia. Pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional mulai terkena efek domino pelemahan daya beli di pasar tujuan ekspor.

Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan ekspor TPT selama 2 bulan terakhir dilaporkan anjlok sekitar 30% dibandingkan September-Oktober 2021. Kondisi ini kemudian berbuntut pada pemangkasan jam kerja.


Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengatakan ada beberapa pabrik yang sudah meliburkan Sabtu-Minggu, ada juga yang kini hanya kerja 4-5 hari seminggu, hingga mematikan 1 hingga 2 lini produksinya.

"Ini akibat pelemahan global dan sudah kita rasakan terutama selama 2 bulan terakhir," ujar Jemmy, dikutip Sabtu (22/10/2022). Lebih parahnya lagi, Jemmy mengatakan hal ini juga berimbas kepada 45 ribu orang buruh industri TPT yang sudah dirumahkan hingga saat ini.

45 ribu orang saya pikir ada, dari hulu ke hilir industri TPT. Bukan cuma anggota API, nggak cuma pabrik garmen. Ada pabrik pemintalan, pencelupan, tenun, ada garmen," ujarnya.

"Dari data laporan itu lokasinya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Nggak cuma industri, tapi IKM juga terkena. Karena di garmen itu banyak usaha hijab, gamis, baju koko, IKM yang menjahit untuk brand besar. Mereka kena akibat pelemahan daya beli ini," kata Jemmy.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menjelaskan bahwa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor industri. Menurutnya, ada dua sektor yang saat ini tengah 'berdarah-darah' imbas berkurangnya permintaan ekspor.

"Yang sudah melakukan laporan ke ke kami adalah sektor sepatu dan tekstil. Jadi sektor sepatu itu drop ekspornya 50% dan garmen turun 30%. Ini akan terjadi permasalahan di sektor tenaga kerja," kata Hariyadi kepada CNBC Indonesia dikutip Jumat (21/10/2022).

Meski menurut Hariyadi masalah tenaga kerja baru sebatas dirumahkan, belum sampai di PHK. Mengingat perusahaan harus memberikan pesangon jika melakukan PHK.

"Kalau sampai di-PHK sendiri belum tahu karena mengandung pesangon, apakah perusahaannya sanggup atau tidak. Tapi kemungkinan besar dirumahkan iya, kalau sudah drop sampai 30-50% itu sudah pasti cash flow terganggu," jelasnya.

Hariyadi mengatakan masalah ini juga sudah dikomunikasikan ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) karena menyangkut hubungan dengan karyawan.

"Kita beri tahu kondisi ini harus dimaklumi bersama, kalau gak ada order ya pasti cash flow-nya terganggu," jelasnya.

Menurutnya strategi yang bisa dilakukan oleh pengusaha adalah penguatan pasar domestik. Mencari pengganti pasar ekspor yang turun drastis seperti ke Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Dia menyebut pasar yang paling besar kemungkinannya untuk di masuki adalah Asean, Australia, dan Korea Selatan.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menegaskan bahwa banyaknya PHK akan menjadi salah satu dampak terbesar jika resesi.

"Dari pengalaman 2020 itu paling terdampak kalangan menengah ke bawah. Ketika perekonomian terkontraksi maka akan banyak perusahaan tertutup sehingga banyak PHK," tutur Piter.

Dia menambahkan PHK membuat orang kehilangan sumber pendapatan sehingga daya beli melemah dan kemiskinan pun meningkat. "PHK akan mengurangi daya beli dan kualitas hidup mereka. Kemiskinan pun meningkat," imbuhnya.

Sementara itu, Ekonom Senior Chatib Basri mengingatkan bahwa perusahaan di dalam negeri yang melakukan impor atau memiliki utang valas akan dibebani oleh nilai tukar rupiah yang melemah karena adanya fenomena strong dollar.

Tidak hanya perusahaan yang melakukan impor, perusahaan luar negeri yang berinvestasi di Indonesia dan menjual produknya dalam rupiah akan terdampak. Jika demikian, pendapatan perusahaan asing dicatat dalam rupiah. Sementara itu, perusahaan asing harus melakukan repatriasi keuntungan dalam dolar AS.

Dalam kondisi penguatan dolar, keuntungannya akan turun. Salah satu upaya mereka adalah menurunkan biaya produksi dan porsi investasi.

"Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif," ujarnya.

"Gak tertarik dong, investor untuk tambah investasinya di sini atau kedua, kalau dia mau tetap lebih besar (pendapatannya) dalam US dollar, dalam rupiahnya harus lebih besar. Berarti posisi investasinya akan turun," jelasnya.

Inilah yang menurut Chatib sebagai fenomena neraca atau balance sheet effect dari penguatan dolar AS.

Oleh karena itu, dia melihat sulit ekonomi Indonesia mengandalkan sektor swasta ke depannya karena ada efek neraca, ditambah dengan tren kenaikan suku bunga acuan.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Bantu UMKM & Desa, Ini Cara Pengusaha Majukan Koperasi Merah Putih