Krisis 2023 Disebut Lebih Horor dari 2008, Dibanding 1998?

Redaksi, CNBC Indonesia
18 October 2022 15:05
Ilustrasi Resesi (Photo by MART/Pexels)
Foto: Ilustrasi Resesi (Photo by MART/Pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ramalan mengenai resesi di 2023 sudah disampaikan banyak pihak, mulai dari pimpinan negara, lembaga internasional hingga sederet pakar. Akan tetapi mengenai seberapa dahsyatnya resesi, analisa yang muncul tampak berbeda-beda.

Ekonom terkenal di dunia yang dijuluki 'Mr. Kiamat', Nouriel Roubini, memprediksi dunia tengah memasuki era baru krisis stagflasi hebat yang belum pernah ada sebelumnya.

Dalam tulisannya, Roubini menuturkan ekonomi telah teracuni kombinasi antara pertumbuhan yang rendah dan inflasi yang tinggi, atau stagflasi yang membawa dunia pada "massive insolvencies and cascading financial crises" hingga beberapa tahun ke depan.

Menurut Mr.Kiamat, saat ini dunia sedang memasuki era baru ekonomi global setelah era hiper-globalisasi, geopolitik yang relatif stabil, dan inovasi teknologi yang telah menjaga tingkat inflasi sejak era perang dingin.

Ramalan Roubini dipercaya selalu tepat, seperti halnya ketika dia meramal krisis suprime mortgage di Amerika Serikat (AS) pada 2008, yang menjadi krisis global.

Saat itu, dia mengatakan bahwa perekonomian AS akan mengalami krisis akibat krisis perumahan pada 2006, ketika banyak bank investasi membuat prediksi ekonomi akan bullish.

Ramalan Roubini benar-benar menjadi nyata. Dimulai oleh krisis pasar perumahan AS pada 2007 dan Fed tak mampu berbuat apa-apa sehingga meledak jadi krisis global 2008.

Kini, setidaknya ramalan kecil Mr. Kiamat soal resesi ekonomi AS yang diprediksi jauh hari juga terbukti nyata.

"Secara teknikal AS tahun ini sudah resesi, hanya saja belum secara formal, karena sektor lapangan pekerjaan masih kuat," papar Roubini.

Dia berargumen krisis ini diakibatkan oleh tren pemicu inflasi yang mulai meningkat, seperti populasi menua, perubahan iklim, gangguan pasokan, proteksi dagang, atau 'the reshoring of industry' yakni tren 'pulang kampung' pebisnis global yang mulai menarik kembali investasinya ke negeri asal.

Sebagai respon inflasi, bank sentral-bank sentral akan dipaksa menaikkan suku bunga kembali pada level yang normal, setelah sekian lama suku bunga bergerak berlawanan arah.

"Normalisasi kebijakan moneter yang cepat dan kenaikan suku bunga akan mendorong rumah tangga, perusahaan, lembaga keuangan, dan pemerintah ke dalam kebangkrutan dan gagal bayar utang," ujarnya Roubini.

Memperkuat argumennya, dia mengajukan bukti angka rasio jumlah utang swasta dan publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global yang telah melonjak dari 200% pada 1999 menjadi 350% tahun ini.

Lebih lanjut, dia melihat dampak pengetatan kebijakan moneter sebetulnya sudah terasa sekarang.

Gelembung di sektor-sektor ekonomi mulai kempis di mana-mana, termasuk ekuitas publik dan swasta, real estate, perumahan, saham-saham viral, kripto, bisnis akusisi, obligasi dan instrumen kredit lainnya. Kekayaan aset riil dan finansial telah merosot, dan utang serta rasionya meningkat.

Apa yang gelap adalah karena yang bakal terjadi nanti tidak pernah ditemui pada krisis-krisis sebelumnya.

Pada krisis 1970-an, stagflasi tidak dibarengi dengan krisis utang karena jumlah utang waktu itu rendah. Pada krisis global 2008, ledakan krisis utang dunia tidak dibarengi dengan tingkat inflasi yang tinggi.

Sayangnya, dunia menghadapi kedua-duanya saat ini. Akibatnya, yang bakal terjadi adalah kombinasi antara krisis stagflasi 1970-an dengan krisis utang global 2008.

Tentunya, ini akan menjadi sebuah badai besar yang harus kita lewati bersama.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut krisis 5C bisa lebih buruk dari krisis keuangan Asia 1997 yang berujung pada krisis politik dan ekonomi di Indonesia tahun 1998.

"Dunia menghadapi the perfect storm atau 5C, yakni Covid-19 yang belum berakhir, conflict Rusia dan Ukraina, climate change, commodity price yang meningkat, cost of living dampak dari inflasi," jelas Airlangga saat menjadi pembicara di dalam sebuah webinar 100 Tahun Eka Tjipta Widjaja Forum Dialog: Economic Outlook 2023, Senin (17/10/2022).


Dampaknya, beberapa ekonomi melambat akibat inflasi dan beberapa negara melakukan pengetatan kebijakan moneter, untuk menekan laju inflasi.

Kendati demikian, kata Airlangga saat ini inflasi di Indonesia masih terjaga. Pada September masih laju inflasi di dalam negeri berada pada level 5,9%.

"Ini Indonesia masih bisa lebih rendah dari negara lain lain, Amerika Serikat 8%, Uni Eropa 9%. Ini berkat sinergi dari kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia," jelas Airlangga.

Airlangga juga bilang, pemulihan perekonomian nasional tetap terjaga meski di tengah gejolak tantangan global saat ini.

Salah satu sektor yang menunjukkan perbaikan signifikan yakni konsumsi dan investasi yang ditandai dengan menguatnya daya beli masyarakat.

"Terjaganya indikator Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan penjualan eceran, terjaganya PMI manufaktur pada level ekspansi, serta kredit perbankan yang tumbuh di atas 10% sejak Juni 2022," jelas Airlangga.

Dari sisi sektor pasar modal, juga turut mengalami penguatan di tengah pelemahan indeks saham global.

Tercatat IHSG telah mencetak return positif di atas 3% secara year-to-date per 14 Oktober 2022 dibandingkan indeks saham lain, dengan net inflow hampir Rp70 triliun dalam kurun waktu 9 bulan.

"Patut kita syukuri karena Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen selama 3 kuartal terakhir dan berharap di kuartal III dan IV mampu menargetkan pertumbuhan di atas 5 persen sehingga secara year on year di akhir tahun kita targetkan 5,2%," jelas Airlangga.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular