CNBC Indonesia Research

Mengenal "Trussonomics" yang Hampir Bikin Inggris Krisis

Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
18 October 2022 16:30
Liz Truss meets supporters at a Conservative Party leadership election hustings at the NEC, Birmingham, England, Tuesday, Aug. 23, 2022. After weeks of waiting, Britain will finally learn who will be its new prime minister.  The governing Conservative Party will announce Monday, Sept. 5, 2022 whether Foreign Secretary Liz Truss or former Treasury chief Rishi Sunak won the most votes from party members to succeed Boris Johnson as party leader and British prime minister. (AP Photo/Rui Vieira, File)
Foto: Liz Truss (AP Photo/Rui Vieira)

Jakarta, CNBC Indonesia - LizĀ Truss, 47 tahun, menjadi perdana menteri (PM) ke 56 Inggris setelah mengalahkan Rishi Sunak dalam kontestasi pimpinan Partai Konservatif. Beberapa hari kemudian dia resmi di lantik Ratu Inggris menjadi pemimpin wanita ketiga di kabinet pemerintaan kerajaan Inggris, setelah Margaret Thatcher (1979-90) dan Theresa May (2016-19).

PM Truss kemudian mengumumkan kebijakan ekonomi yang merupakan perubahan kebijakan terbesar yang pernah diambil Partai Konservatif semenjak menguasai parlemen pada 2010. Inti dari kebijakan yang disebut Trussonomics-mengambil kata akhir nama sang PM- adalah belanja besar-besaran, disertai pemotongan pajak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Paket kebijakan senilai GBP100 miliar, plus bantuan energi itu adalah poin utama kampanye yang membuat Truss mempencudangi Sunak, diumumkan pada September 23 lalu, dan di representasikan dalam program anggaran mini menteri keuangan Kwasi Kwarteng-sekarang sudah diganti Jeremy Hunt.

Seperti yang terlihat, kebijakan itu kemudian mendapatkan reaksi negatif dari pasar. Memicu panik jual di pasar obligasi di Inggris, mendorong yield atau imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah Inggris atau gilts ke level di atas 4%, tertinggi sejak krisis global 2008.

Demikian pula poundsterling terlemah sejak 1985 terhadap dolar AS di angka GBP 1.069. Akibatnya, krisis mulai mengancam industri dana pensiun yang merupakan pembeli terbesar gilts.

Berikut adalah beberapa hal tentang Trussonomics dan mengapa itu hampir membuat ekonomi Inggris nyaris krisis.

1. Perubahan besar konservatif

Hal paling menonjol dari Trussonomics adalah adanya pergeserah arah kebijakan partai konservatif dari kebiasaanya, setidaknya sejak partai ini berkuasa satu dekade ini. Trussonomics diantaranya menggantikan program pengetatan anggaran yang sudah lama dianut partai tersebut. Gagasan konkritnya kebijakan fiskal yang lebih ekspansif, dibandingkan para pendahulunya yang umumnya menganut fiskal ketat.

Arah kebijakan Trussonomics adalah pro-pertumbuhan ekonomi yang dibangun berdasrkan tiga poin utama kebijakan. Kebijakan moneter yang tetap menjaga inflasi, kebijakan fiskal yang mampu menstabilkan ekonomi, dan kebijakan pada sisi penawaran yang fokus pada dorongan penuh investasi.

Arah baru kebijakan ini dinilai tidak realisti, terlebih dalam situasi sekarang dimana Inggris sedang mengalami krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina.

2. Memicu kenaikan suku bunga

Ini adalah hal yang lumrah apabila pemerintah memilik kebijakan ekspansif, yang mengakibatkan defisit fiskal. Kebijakan ini membuat pemerintah akan menggelontorkan banyak uang atau jumlah uang beredar di masyarakat, yang mana sebagai respon memicu bank sentral menaikkan suku bunga guna menjaga inflasi.

Tidak hanya itu, kebijakan defisit juga memicu pemerintahan Tuss menerbitkan lebih banyak surat utang sehingga bisa mendorong kenaikan yield obligasi. Inilah yang memicu panik jual di pasar obligasi Inggris, dimana investor berekspektasi terhadap suku bunga tinggi. Bank sentral diprediksi menaikkan suku bunga hingga 4,5% tahun depan dari 1,5% Februari lalu.

3. Gagasan pro-pertumbuhan yang klise

Inti dari kebijakan Trussonomics adalah pertumbuhan ekonomi. Ini untuk mengkounter tren perlambatan ekonomi dunia, akibat krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia dan Ukraina.

Setelah kontraksi 11% pada 2020, PDB Inggris tumbuh 7,4% pada 2021. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) meramalkan PDB Inggris akan tumbuh 3.4% tahun ini, dan 0.0% tahun depan.

Gagasan Tuss yang seolah bagus itu justru di cibir oleh pelaku pasar karena dinilai tidak realistis. Sebab, tidak ada pemerintah manapun yang anti pertumbuhan ekonomi. Lagi pula, semenjak kampanye Brexit yang menjanjikan ekonomi Inggris lebih baik tidak terbukti, banyak warga di sana kemudian skeptis dengan tindakan pemerintah.

4. Paradok kebijakan bank sentral dan pemerintah

Trussonomics mengakibatkan kebingungan di pasar. Pertama, kebijakan 'uang mudah' dengan menggenjot belanja dan memangkas pajak terang-terangan berlawanan dengan kebijakan bank sentral, (Bank of England/BoE) yang menaikkan suku bunga guna menekan inflasi yang meroket akibat krisis energi.

Situasi ini membuat investor cenderung berhati-hati dan melepas investasinya. Ini terjadi di pasar obligasi baik gilts maupun oblogasi korporasi. Kebijakan Trussonomics dinilai justru akan semakin mendorong tingkat inflasi menjadi tidak terkendali.

Akhirnya, Trussonomics sudah tinggal kenangan, setelah pemecatan Kwarteng pekan lalu. Menkeu yang baru mengemban misi untuk membatalkan rencana tersebut, dan ia telah mengubah secara drastis pelaksanaan kebijakan Trussonomics hingga menyisakan sekitar sepertiga dari rencana pemotongan pajak yang awalnya direncanakan Truss dan Kwarteng. Apakah kebijakan Trussonomics yang sudah direformasi Menkeu Hunt ini diterima pasar, kita lihat saja nanti.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mum/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Krisis Inggris Makin Ngeri, di Data Ini Resesi Setahun Penuh

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular