Kado HUT ke-65, ESG Rating Pertamina Meningkat
Jakarta, CNBC Indonesia - Komitmen PT Pertamina (Persero) dalam menjalankan program lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social & Governance/ ESG) telah membuahkan hasil.
Hal ini dibuktikan melalui ESG Risk Rating Pertamina menjadi 25,8 per September 2022 dari tahun lalu 28,1. Ini menandai bahwa telah ada perbaikan ESG perseroan. Dengan peringkat ini, artinya risiko ESG perseroan berada di posisi medium.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, hal positif ini menjadi salah satu kado bagi perseroan yang akan berulang tahun ke-65 pada Desember tahun ini.
"Alhamdulillah ESG Rating Pertamina meningkat, dari 28,1 tahun lalu menjadi 25,8 di tahun ini. Menjadi salah satu kado HUT Pertamina ke 65 tahun," ungkap Nicke, Senin (17/10/2022).
Nicke mengatakan, ESG Risk Rating Ranking Pertamina di industri minyak dan gas global juga telah meningkat dari ranking 15 pada tahun lalu menjadi ranking 8 di tahun ini.
"Yang lebih keren lagi, pada kategori Integrated Oil & Gas, kita berada di ranking 2, globally," ucapnya.
Atas pencapaian ini, dirinya pun menyampaikan apresiasi terhadap seluruh jajaran manajemen dan karyawan Pertamina yang telah bekerja keras untuk menjalankan program penurunan emisi karbon.
"Terima kasih kepada seluruh jajaran Manajemen dan Perwira yang telah bekerja keras dalam program penurunan emisi karbon, di mana kita telah berhasil menurunkan 29% emisi karbon yang dihasilkan Pertamina group," tuturnya.
Di sela acara SOE International Conference 2022: Driving Sustainable and Inclusive Growth di Nusa Dua, Bali, Senin (17/10/2022), Nicke memaparkan rencana Pertamina mengenai target netral karbon atau net zero emission (NZE) di 2060 melalui dekarbonisasi.
Dia mengungkapkan Pertamina berhasil menurunkan pengeluaran karbon emisi operasional perusahaan mencapai 29% dari 2019 hingga akhir 2021.
"Pertama eksisting bisnis kita yang menghasilkan emisi ini sudah kita turunkan, minimal sama dengan target Nationally determined contribution pemerintah. Sejak 2019, kami menghitung berapa penurunan karbon emisi dan di 2021 akhir," jelas Nicke dalam Power Lunch CNBC Indonesia, Senin (17/10/2022).
Nicke menjelaskan bahwa dalam dekarbonisasi Pertamina melakukan efisiensi pada kilang-kilang dan seluruh blok migas dengan menggunakan kembali gas buang yang ada menjadi energi.
"Kedua kita melakukan beberapa program di hilir, yaitu Langit Biru. Di mana sudah shifting dari premium ke pertalite, dan itu memberikan kontribusi cukup besar," lanjut dia.
Sementara itu, dalam program transisi ke energi bersih, menurut Nicke, harus sesuai dengan sumber daya alam yang dimiliki negara.
"Karena Indonesia negara kepulauan, maka konsepnya bukan lagi interkoneksi. Tapi begitu kita bicara Indonesia Timur, itu melakukan kearifan lokal. Semua bisa diproses menjadi sumber energi. Sumber energi harus berasal dari sumber daya alam yang dimiliki negara," tuturnya.
Selanjutnya kata Nicke, Pertamina memiliki carbon capture utilization and storage (CCUS), dengan C02 bisa membantu meningkatkan produksi hulu migas.
"Indonesia punya kapasitas besar sekali untuk reservoir storage C02, sekitar 80 sampai 400 giga ton. Termasuk terbesar di Asia. Ini bisa kita kembangkan," pungkas dia.
Bahkan, Pertamina mengalokasikan anggaran untuk pengembangan energi hijau hingga 2060 secara total diperkirakan mencapai US$ 150 miliar atau sekitar Rp 2.323 triliun (asumsi kurs Rp 15.490 per US$).
"Kita mulai sisihkan anggaran investasi itu gak hanya eksisting tapi juga untuk EBT. Kalau kita hitung sampai 2060 total angkanya berkisar US$ 120 - 150 miliar. Karena ini kan bisnis besar," ucapnya.
(wia)