Krisis Energi Eropa "Makan Korban" Baru: Industri Otomotif
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi di Eropa mulai mengancam produksi industri otomotif di benua itu. Hal ini mulai membuat beberapa produsen bereaksi.
CEO grup merek otomotif yang berpusat di Belanda, Stellantis, Carlos Tavares, mengatakan naiknya harga energi telah menambah kekacauan dalam industri otomotif benua itu setelah pandemi Covid-19. Ia mengaku sedang mempertimbangkan beberapa opsi agar output tidak terpengaruh.
"Stellantis sedang mengevaluasi bagaimana mengurangi penggunaan energinya, atau bahkan bagaimana menghasilkan listriknya sendiri melalui susunan panel surya untuk menekan biaya tanpa mengorbankan output," ujar kepala perusahaan yang menjadi pemegang merek Peugeot dan Dodge itu dikutip Fortune, Kamis, (13/10/2022).
Hal serupa juga dinyatakan oleh kelompok industri Inggris, Society of Motor Manufacturers and Traders (SMMT). Selain biaya energi, SMMT menyebut kenaikan bahan baku juga mulai dirasakan oleh produsen di Negeri Big Ben itu.
Menurut lembaga itu, kondisi ini akan menjadi ancaman baru saat industri sedang berjalan pulih dari Covid-19. SMMT menyebut produksi kendaraan baru masih hampir 46% di bawah tingkat pra-pandemi.
"Biaya energi tinggi sebagai 'kekhawatiran terbesar tunggal' untuk pembuat mobil Inggris pada akhir September, dengan banyak yang sudah melihat kenaikan biaya produksi untuk bahan baku."
Krisis energi yang terjadi di Eropa sendiri merupakan dampak dari rencana embargo benua itu terhadap bahan bakar asal Rusia. Ini sebagai respons penolakan Brussels terkait serangan militer Moskow ke Ukraina.
Dalam laporan yang baru dirilis Selasa oleh S&P Global Mobility, krisis energi disebut dapat membuat output manufaktur mobil Eropa turun lebih dari 1 juta unit per kuartal. Ini dimulai dari kuartal terakhir tahun ini dan berlanjut sepanjang 2023.
"Jika Anda melihat melalui rantai pasokan, terutama di mana ada struktur logam yang terbentuk melalui pengepresan, pengelasan, atau ekstrusi, ada sejumlah besar energi yang terlibat," Edwin Pope, analis utama di S&P Global Mobility, menulis dalam laporan tersebut.
"Total penggunaan energi di perusahaan-perusahaan ini bisa mencapai satu setengah kali lipat dari apa yang kita lihat di perakitan kendaraan hari ini. Secara anekdot, kami mendengar bahwa beberapa dari kapasitas produksi ini menjadi sangat tidak ekonomis sehingga perusahaan hanya menutup toko," kata Pope.
(luc/luc)