Internasional

AS Ancam Hukum Arab Saudi, Ini Kronologi-Respons Raja Salman

Lucky Leonard Leatemia & Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Kamis, 13/10/2022 19:54 WIB
Foto: Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menyambut Presiden AS Joe Biden setibanya di Istana Al Salman, di Jeddah, Arab Saudi, Jumat (15/7/2022). (Bandar Algaloud/Courtesy of Saudi Royal Court/Handout via REUTERS)

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) saat ini sedang berada di ambang resesi. Ini dimotori oleh naiknya harga energi yang akhirnya menyebabkan inflasi hingga di atas 8% di Negeri Paman Sam.

Dibalik krisis ini, rupanya Arab Saudi dan 'kartelnya', yakni OPEC+ memiliki andil. Pasalnya, di saat-saat krisis mereka justru mengumumkan pengurangan pasokan terbesarnya sejak 2020.

OPEC+ sepakat untuk mengurangi produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari mulai November. Langkah ini dirancang untuk memacu pemulihan harga minyak mentah, yang telah turun menjadi sekitar US$ 80 per barel setelah sempat mencapai US$ 120 per barel pada awal Juni.


Pemerintahan Presiden Joe Biden menganggap keputusan tersebut "berpandangan sempit". Hal itupun akan makin memperdalam kenaikan harga di dalam Negeri Super Power tersebut.

Ini pun berbuntut panjang dan mengancam hubungan AS dengan negara-negara OPEC+ lebih lanjut. Analis energi percaya momen ini akan menjadi 'pintu masuk' bagi AS untuk mencoba mengendalikan pengaruh OPEC+.

Kekecewaan AS terhadap sikap OPEC+ ini tidak datang secara tiba-tiba. Negeri Paman Sam telah berkali-kali meminta agar produksi minyak digenjot untuk mengatasi krisis energi dan menurunkan harganya di hilir.

Selain itu, Biden juga berkepentingan untuk menjaga harga bahan bakar jelang pemilihan paruh waktu pada bulan depan.

Dalam sebuah pernyataan, Gedung Putih mengatakan Biden kecewa dengan keputusan 'picik' OPEC+ untuk memangkas kuota produksi, sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari serangan Putin ke Ukraina.

Kantor kepresidenan itu juga menambahkan bahwa Biden telah mengarahkan Departemen Energi untuk melepaskan 10 juta barel lagi dari cadangan minyak strategis bulan depan.

"Mengingat tindakan hari ini, Administrasi Biden juga akan berkonsultasi dengan Kongres tentang alat dan otoritas tambahan untuk mengurangi kontrol OPEC atas harga energi," kata Gedung Putih, dikutip dari CNBC International.

Terbaru, dalam wawancara dengan CNN, Presiden AS Joe Biden menganggap respons Saudi ini merupakan bukti bahwa pihaknya perlu memikirkan kembali hubungan kedua negara. Pasalnya, di tengah ketegangan geopolitik antara AS dan Rusia, Saudi justru kompak dengan Moskow dan negara OPEC+ untuk memangkas produksi minyak.

"Saya sedang dalam proses, ketika DPR dan Senat kembali, mereka harus - akan ada beberapa konsekuensi atas apa yang telah mereka lakukan dengan Rusia," kata Biden.

Sikap Arab Saudi

Arab Saudi sendiri menolak pernyataan yang mengkritik kerajaan. Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang dikutip Reuters, keputusan OPEC+ dengan suara bulat itu diambil dengan mempertimbangkan keseimbangan pasokan dan permintaan yang ditujukan untuk membatasi volatilitas pasar.

"Kerajaan mengklarifikasi melalui konsultasi berkelanjutan dengan pemerintah AS bahwa semua analisis ekonomi menunjukkan, menunda keputusan OPEC+ selama sebulan, menurut apa yang telah disarankan, akan memiliki konsekuensi ekonomi negatif," katanya sumber pejabat Arab Saudi, Kamis.

Sebelumnya, berbicara pada konferensi pers di Wina pada hari Rabu, Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan akan terus membuktikan bahwa OPEC+ ada sebagai kekuatan moderat untuk mewujudkan stabilitas.

Sekretaris Jenderal OPEC Haitham Al Ghais juga membela keputusan kelompok itu untuk memberlakukan pengurangan produksi yang dalam, dengan mengatakan aliansi itu berusaha untuk memberikan keamanan dan stabilitas ke pasar energi.

Namun, dia tidak menjawab dengan jelas ketika ditanya apakah ada harga tertentu yang 'diinginkan' OPEC. "Semuanya memiliki harga. Keamanan energi juga memiliki harga," katanya kepada CNBC International.

Dampak Terbatas

Analis energi mengatakan dampak sebenarnya dari pengurangan pasokan dari OPEC+ untuk November kemungkinan akan terbatas. Dengan pengurangan sepihak oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Kuwait.

Terlebih lagi, para analis mengatakan saat ini sulit bagi OPEC+ untuk membentuk pandangan lebih dari satu atau dua bulan ke depan. Karena pasar energi menghadapi ketidakpastian lebih banyak sanksi Eropa.

"Orang-orang Saudi mengatakan bahwa ini adalah keputusan yang didorong oleh pasar, bahwa mereka memperkirakan permintaan akan turun selama musim dingin - saya tidak dapat melihat bagaimana pemotongan volume ini tidak lebih dari sebuah pernyataan politik," tutur Michael Stephens dari Royal United Services Institute di London.

"Dan bahkan jika itu didasarkan pada alasan teknis dan murni penawaran dan permintaan, bukan itu yang ditafsirkan oleh AS," katanya.

Dia menambahkan jika Saudi berkoordinasi dengan Rusia mengenai harga minyak, itu akan dipandang sebagai dukungan terbuka untuk Rusia.

Herman Wang, redaktur pelaksana berita OPEC dan Timur Tengah di S&P Global Platts, mengatakan kepada CNBC bahwa OPEC+ memberlakukan pengurangan produksi yang dalam dengan pandangan yang lebih panjang untuk membawa mereka melalui potensi resesi ekonomi global.

"Tapi itu datang pada waktu politik yang tidak pasti bagi AS, yang menuju ke pemilihan paruh waktu, dan hal terakhir yang ingin dilihat Gedung Putih adalah lonjakan harga bensin," kata Wang.

"Itu menambahkan elemen geopolitik pada apa yang dilakukan OPEC+, dan sementara kelompok itu suka mengatakan bahwa mereka menjauhkan politik dari keputusan mereka, tidak dapat disangkal bahwa ada potensi konsekuensi untuk ini di luar harga minyak," tambahnya.


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Iran-Israel Memanas, RI Hadapi Risiko Kenaikan Harga Minyak