
Proyek Pengganti LPG Tanpa Uang Negara, Yakin Bisa Jalan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengandalkan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam pembangunan proyek jaringan gas kota (jargas) pada tahun depan.
Dengan begitu, pemerintah tidak perlu lagi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai proyek pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) ini.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) periode 2017-2021 Jugi Prajogio berpendapat, sebenarnya sudah cukup lama mendengar skema KPBU ini dalam pembangunan proyek jargas. Namun demikian, ia belum pernah melihat usulan secara nyata dari pemerintah mengenai skema tersebut.
"Intinya jika usulan skema KPBU ini menarik, tentunya sudah banyak badan usaha yang tertarik menggarap jargas ini," ungkap Jugi kepada CNBC Indonesia, Selasa (11/10/2022).
Menurut Jugi, semasa menjabat sebagai Anggota Komite di BPH Migas pun, dirinya hanya mendengar skema ini dalam bentuk tataran normatif. Artinya, belum jelas apa yang ditawarkan kepada badan usaha dengan menggunakan skema tersebut.
Setidaknya, selama proyek tersebut memiliki profitabilitas yang memadai, maka secara otomatis badan usaha akan berminat. BPH Migas sendiri sebenarnya telah menggulirkan Peraturan BPH Migas Nomor 4 Tahun 2021 tentang Jargas Mandiri.
Program jargas mandiri tersebut sebagai salah satu upaya untuk menggerakkan program jargas di tengah keterbatasan dana pemerintah.
"Harusnya peraturan ini dijadikan panutan oleh badan usaha dalam mengembangkan jargas, selain itu BPH juga perlu meninjau ulang patokan harga Jargas Mandiri," ujarnya.
Namun, Jugi menyarankan supaya harga jargas mandiri khususnya untuk pelanggan Rumah Tangga (RT-2)/PK-2 bisa di atas Rp 10.000/m3. Mengingat, harga LPG 12 kg non subsidi saat ini berada di sekitar Rp 230.000 per tabung.
"Seandainya harga jargas mandiri di Rp 11.000/m3, maka masyarakat akan tetap hemat sekitar 25% dibandingkan LPG 12 kg. Bisnis harus dibuat menarik bagi badan usaha, selama harga akhir masih dapat diterima masyarakat. Jika bisnis jargas tidak menarik, maka otomatis badan usaha akan mencari bisnis lainnya yang lebih menarik," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, pembangunan jargas pada tahun depan akan lebih mengandalkan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Dengan begitu, proyek jargas tidak lagi membebani APBN.
"Kalau KPBU itu nanti dilelang, bukan dari pemerintah (anggarannya). Tahun depan gak ada anggaran. Jadi nanti ke depan swasta, nanti dilelang biasanya besar," ungkap Tutuka dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (10/10/2022).
Bahkan, lanjutnya, pemerintah sendiri sudah memilih tempat yang akan dilakukan pilot project atau uji coba untuk pelaksanaan proyek jargas dengan skema KPBU, di antaranya yakni Kota Palembang dan Batang.
"Ini akan skala besar ke depan. Kita harapkan satu tahun satu juta (sambungan). Sekarang go pilot dulu. Itu untuk dicoba di kedua kota itu. Nanti akan ada sembilan kabupaten kota ke depannya," kata dia.
Meski begitu, ia berharap agar pemerintah daerah juga turut berpartisipasi dalam implementasi program jargas ini. Mengingat, pelaksanaan di lapangan tidak begitu mudah.
Adapun, untuk satu sambungan proyek jargas memerlukan anggaran sekitar Rp 10 juta. Sementara setelah tersambung, proses bisnis kemudian akan dilanjutkan oleh badan usaha seperti PGN.
"Kalau Rp 10 juta per rumah tangga, kalau 100,000 ribu kan satu triliun, jadi kalau 300 ribu kita langsung bisa kalikan saja jumlahnya, kan besar," katanya.
Proyek jargas sendiri pelaksanaannya sudah dimulai sejak 2009 dengan menggunakan dana APBN. Adapun pembangunan jargas hingga saat ini sudah menjangkau 839 ribu sambungan rumah, baik itu dari skema APBN dan non APBN.
Perlu diketahui, proyek jargas ini bisa menggantikan penggunaan Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang pengadaannya sebagian besar berasal dari impor.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG RI dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Biar Gak Impor Melulu & Pengganti LPG Jalan, Ini Syaratnya