RI Kaya Gas, Tapi 76% LPG Dipasok dari Impor

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
10 October 2022 16:45
Pekerja menata tabung gas liquified petroleum gas  (LPG) 3kg di Manggarai, Jakarta, Kamis (30/6/2022). PT Pertamina (Persero) akan memperketat pembelian LPG 3kg. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pekerja menata tabung gas liquified petroleum gas (LPG) 3kg di Manggarai, Jakarta, Kamis (30/6/2022). PT Pertamina (Persero) akan memperketat pembelian LPG 3kg. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan bahwa Indonesia mempunyai potensi gas alam yang sangat besar dan menjanjikan untuk dikembangkan. Namun sayang, Indonesia saat ini masih bergantung pada Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang diimpor dari negara lain.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, kondisi ini terjadi karena kapasitas produksi kilang LPG yang dimiliki Indonesia saat ini jumlahnya terbatas, sehingga sebagian besar dari kebutuhan LPG domestik harus dipenuhi dari impor.

Menurut dia, kuota LPG Indonesia per tahunnya dipatok sebesar 8 juta metrik ton. Sementara, kapasitas produksi kilang LPG RI hanya sebesar 1,9 juta metrik ton.

"Memang sekitar 76,9% itu memang impor LPG kita. Jadi kondisinya seperti itu. Ke depan kalau kita gunakan gas langsung ya berbeda dengan petroleum gas (LPG). Kita lebih banyak kalau LNG atau gas pipa ke jargas," kata dia dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (10/10/2022).

Seperti diketahui, ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG semakin parah. Hal tersebut tentunya membuat beban keuangan negara semakin berat.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG RI dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.

Padahal di sisi lain, Indonesia memiliki "harta karun" energi lainnya yang bisa menggantikan impor LPG ini. "Harta karun" yang dimaksud di sini yaitu gas alam. Gas alam juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan memasak bagi konsumen rumah tangga, dengan menggunakan jaringan pipa gas.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM, pada 2021 pemanfaatan gas domestik "hanya" 66% dari realisasi salur (lifting) gas. Pada 2021, realisasi lifting gas sebesar 981,98 ribu barel setara minyak per hari atau 5.501 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Bila pemakaian gas alam ini digencarkan, maka ini bisa berkontribusi menekan impor LPG dan menghemat devisa negara, sambil mengoptimalkan sumber daya alam di dalam negeri.

Berdasarkan data terbaru Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), status per 31 Desember 2021, Indonesia memiliki cadangan terbukti (proven reserves) gas alam sebesar 34,64 triliun kaki kubik (TCF).

Bila digabungkan dengan data cadangan potensial (potential reserves), berdasarkan data Kementerian ESDM status 1 Januari 2021, total cadangan gas RI mencapai 60,61 TCF.

Jumlah tersebut masih bisa bertambah, terutama karena masih banyak puluhan cekungan hidrokarbon di Tanah Air yang belum dieksplorasi. Dari 128 cekungan (basins), baru 20 cekungan yang sudah menghasilkan minyak dan gas bumi, delapan cekungan telah dibor namun belum berproduksi, dan masih ada potensi 100 cekungan lainnya, di mana 68 cekungan masih belum dibor sama sekali.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berikut data impor LPG selama 2011-2021:

- 2011: 1,99 juta ton (45,7% dari total kebutuhan 4,35 juta ton).
- 2012: 2,57 juta ton (51% dari total kebutuhan 5,03 juta ton).
- 2013: 3,29 juta ton (58,6% dari total kebutuhan 5,61 juta ton).
- 2014: 3,60 juta ton (59,1% dari total kebutuhan 6,09 juta ton).
- 2015: 4,24 juta ton (66,5% dari total kebutuhan 6,38 juta ton).
- 2016: 4,47 juta ton (67,3% dari total kebutuhan 6,64 juta ton).
- 2017: 5,46 juta ton (75,9% dari total kebutuhan 7,19 juta ton).
- 2018: 5,57 juta ton (73,7% dari total kebutuhan 7,56 juta ton).
- 2019: 5,71 juta ton (73,6% dari total kebutuhan 7,76 juta ton).
- 2020: 6,39 juta ton (79,7% dari total kebutuhan 8,02 juta ton).
- 2021: 6,34 juta ton (74,1% dari total kebutuhan 8,55 juta ton).


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gas RI Luber, Tapi Kok Bisa-bisanya Lebih Memilih Impor LPG?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular