Impor LPG Gede-gedean Saat Gas Luber, Siapa Tanggung Jawab?
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketergantungan terhadap impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan minyak masih menjadi persoalan bangsa Indonesia. Padahal, di sisi lain, RI mempunyai potensi cadangan gas bumi yang cukup untuk menggantikan kedua barang tersebut.
Misalnya, untuk mengurangi ketergantungan minyak, dapat digantikan melalui program konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG). Sementara untuk LPG, dapat digantikan dengan program jaringan gas kota (jargas) untuk konsumen rumah tangga.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kondisi tersebut terjadi karena perencanaan transisi energi yang tidak matang, dari hulu hingga hilir.
Misalnya, dengan ekspansi pembangkit listrik 35.000 MW yang dominasi PLTU batu bara, membuat kapasitas listrik PLN berlebih. Adapun untuk membuang kelebihan pasokan (over supply) listrik dicari jalannya dengan menggenjot program kendaraan listrik dan kompor listrik.
"Sementara Pertamina dan PGN sebagai operator migas punya jalan keluar sendiri, meski mahal di depan, transisi dari LPG impor dilakukan lewat pembangunan pipa jargas," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/10/2022).
Menurut Bhima, anggaran untuk jargas memang mahal di depan, namun ketika sampai ke konsumen akan lebih murah dibandingkan kompor listrik. Ia pun memandang kebijakan yang dijalankan baik itu PLN, Pertamina dan PGN tidak sinkron terkait transisi energi dan upaya mengurangi impor LPG.
"Ditambah arahan dari Kementerian ESDM juga tidak clear, program mana yang harus diprioritaskan dulu. Sekarang kalau PGN jualan jargas, sudah mendapat pendanaan triliunan dari pemerintah, tapi di hilir ada yang jualan program kompor listrik, maka jadi kontradiktif," kata Bhima.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyadari Indonesia diberkahi dengan cadangan gas yang cukup melimpah. Hal itu pun bisa menjadi salah satu cara dalam mengatasi ketergantungan terhadap impor LPG yang semakin mencekik melalui program jargas rumah tangga.
"Indonesia memang memiliki sumber gas yang berlimpah. Tetapi pemanfaatan BBG dan jargas membutuhkan infrastruktur pipa yang investasinya mahal," ujar Fahmi.
Ia pun berharap agar Kementerian ESDM sebagai penanggung jawab di segala bidang energi dapat mencari jalan keluarnya. Pasalnya, selama ini pemerintah cenderung mencari jalan mudahnya, baik itu terkait energi maupun pangan dengan cara impor.
"Anggarkan dalam APBN untuk membangun infrastruktur, utamanya di daerah yang berdekatan dengan sumber gas," ujar fahmi.
Sebagai informasi, Indonesia kaya akan sumber daya gas alam yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti LPG. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), jumlah cadangan terbukti (proven reserves) gas alam RI hingga 31 Desember 2021 tercatat mencapai 34,64 triliun kaki kubik (TCF).
Bila digabungkan dengan data cadangan potensial (potential reserves), berdasarkan data Kementerian ESDM status 1 Januari 2021, total cadangan gas RI mencapai 60,61 TCF.
Jumlah cadangan terbukti gas ini masih bisa semakin meningkat, terutama bila kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) terus digalakkan. Indonesia memiliki 128 cekungan hidrokarbon (basin).
Namun sampai saat ini, hanya 20 cekungan yang telah diproduksi, 27 cekungan lainnya sudah dibor dan menemukan potensi cadangan, 12 cekungan sudah dibor tapi tidak menemukan cadangan, dan masih ada 69 cekungan lainnya yang belum sama sekali dibor.
Sementara impor LPG RI dalam satu dekade ini telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.
Lonjakan nilai impor LPG tak terlepas dari kenaikan harga LPG di pasar internasional, khususnya Contract Price Aramco (CP Aramco). Apalagi, pasokan LPG Indonesia masih didominasi oleh impor. Lebih dari 70% kebutuhan LPG nasional berasal dari impor.
(wia)