
Negara Raja Salman Anti Krisis Saat Dunia Kacau, Ini Datanya

Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan harga minyak mentah membuat Arab Saudi menjadi satu dari sedikit negara yang mengalami anomali pada tahun ini. Di tengah banyaknya negara yang berjuang menyelamatkan ekonominya pada tahun ini, Arab Saudi justru panen penerimaan dan mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat kencang.
Harga minyak melonjak sejak perang Rusia-Ukraina pada akhir Februari 2022. Bahkan menembus rekor tertinggi dalam 14 tahun ke posisi US$ 128 per barel pada 8 Maret 2022.
Harga minyak memang melandai sejak September ke bawah US$ 100 per barel. Namun, keputusan OPEC untuk memangkas produksi hingga 2 juta per barel diperkirakan akan membuat harga minyak mentah tetap tinggi.
Tingginya harga minyak mentah akan semakin menambah pundi-pundi pendapatan negara Arab Saudi.
Pekan lalu, Kementerian Keuangan Arab Saudi mengumumkan jika anggaran pemerintah kemungkinan akan membukukan surplus sekitar SR 90 miliar (US$ 24 miliar) atau Rp 366,5 triliun (kurs US$1=Rp 15.271).
Jika proyeksi ini benar maka negara yang kini dipimpin Raja Salman tersebut akan mencatatkan surplus anggaran untuk pertama kalinya sejak 2013 atau hampir 10 tahun. Surplus anggaran pada tahun ini juga akan menjadi pembalikan luar biasa karena anggaran pemerintah masih mencatatkan defisit sebesar US$ 19,6 miliar pada 2021.
Penerimaan negara pada tahun ini diperkirakan menyentuh US$ 326 miliar atau setara dengan Rp 4.948 triliun. Pendapatan akan naik 17% dibandingkan proyeksi di awal tahun.
Merujuk APBN 2022, penerimaan pemerintah Indonesia ditargetkan mencapai Rp 2.266,19 triliun. Artinya, penerimaan pemerintah Raja Salman 46% lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Padahal, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 275 juta sementara Arab Saudi hanya 34,8 juta.
Pada kuartal II-2022, penerimaan negara Arab Saudi menembus SR 370,37 miliar atau sekitar Rp 1.500 triliun. Penerimaan dari minyak menembus SR250,36 miliar atau sekitar Rp 1.013 triliun. Penerimaan tersebut naik 89% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Gelimang penerimaan minyak juga membuat transaksi berjalan Arab Saudi tahan banting. Surplus pada transaksi berjalan diperkirakan menembus 17,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), level tertingginya sejak 2013.