Gawat! Lonjakan Impor LPG RI Gak Main-Main, Ini Faktanya

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
06 October 2022 12:12
Pekerja melakukan bongkar muat tabung LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 Kg atau gas melon di kawasan Cililitan, Jakarta Kamis (14/7/2022).
Foto: Pekerja melakukan bongkar muat tabung LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 Kg atau gas melon di kawasan Cililitan, Jakarta Kamis (14/7/2022).

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah lubernya gas alam di Tanah Air, namun Indonesia justru lebih memilih impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Hal ini tentunya menjadi ironis, karena bukannya mengoptimalkan sumber daya alam di dalam negeri, malah mengeluarkan devisa untuk membeli sumber gas dari negara lain.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menyebutkan, pasokan gas di dalam negeri kini berlimpah, dan dalam waktu dekat bakal bertambah lagi dengan mulai beroperasinya sejumlah proyek gas besar di Tanah Air.

Adapun salah satu daerah yang surplus gas yakni Jawa Timur.

Beberapa proyek gas yang segera beroperasi di antaranya yaitu Jambaran Tiung Biru (JTB) oleh Pertamina EP Cepu, proyek gas milik operator Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), dan Proyek Bukit Tua Phase milik Petronas.

"Jadi kalau nanti JTB beroperasi, HCML akhir tahun ini beroperasi, dan awal tahun depan beroperasi satu lagi Petronas yang Bukit Tua, nanti surplus Jawa Timur," kata Dwi ditemui di Bandung, Selasa malam (4/10/2022).

Lebih lanjut, menurut Dwi, dengan mulai beroperasinya JTB saja, setidaknya bakal ada tambahan gas sebesar 20 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Sementara dengan mulai beroperasinya proyek HCML terdapat tambahan pasokan gas sebesar 40 MMSCFD.

Belum lagi, Indonesia juga masih memiliki tiga proyek gas yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Misalnya, proyek Train-3 Kilang Gas Alam Cair (LNG) Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, yang dioperasikan oleh BP Berau Ltd. Proyek Train 3 Kilang LNG Tangguh ini ditargetkan akan beroperasi pada Kuartal I 2023.

Berikutnya, proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) yang dikelola Chevron Indonesia Company, serta proyek Kilang LNG dari Lapangan Abadi, Blok Masela yang dikelola oleh Inpex Corporation.

Perlu diketahui, cadangan gas alam RI per 1 Januari 2021 tercatat sebesar 60,61 triliun standar kaki kubik (TSCF).

Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG RI dalam satu dekade telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat hingga mencapai 6,34 juta ton pada 2021. Adapun porsi impor LPG pada 2021 telah mencapai 74% dari total kebutuhan. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan porsi impor LPG pada 2011 yang "hanya" sebesar 46%.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai impor LPG RI pada 2021 mencapai US$ 4,09 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$), meroket 58,5% dibandingkan nilai impor pada 2020 lalu yang tercatat US$ 2,58 miliar.

Lonjakan nilai impor LPG tak terlepas dari kenaikan harga LPG di pasar internasional, khususnya Contract Price Aramco (CP Aramco). Apalagi, pasokan LPG Indonesia masih didominasi oleh impor. Lebih dari 70% kebutuhan LPG nasional berasal dari impor.

Kenaikan impor ini seiring dengan kian meningkatnya kebutuhan LPG, sementara produksi dari dalam negeri justru terlihat semakin menurun.

Lonjakan impor ini tak terlepas dari kian meningkatnya kebutuhan LPG, sementara produksi dari dalam negeri justru terlihat semakin menurun.

Kebutuhan LPG pada 2011 tercatat sebesar 4,35 juta ton. Kebutuhan ini terus meningkat tiap tahunnya hingga menembus dua kali lipat menjadi 8,55 juta ton pada 2021.

Sedangkan dari sisi produksi justru terlihat penurunan, yakni dari 2,28 juta ton pada 2011, namun pada 2021 lalu tercatat menurun menjadi 1,90 juta ton. Adapun produksi LPG di dalam negeri ini berasal dari dua jenis produksi, yakni dari kilang LPG dan juga kilang minyak.

Produksi dari kilang LPG pada 2011 tercatat 1,58 juta ton, namun turun menjadi 1,04 juta ton pada 2021. Sementara produksi dari kilang minyak dari 704,8 ribu ton pada 2011 tercatat naik tipis menjadi 863,8 ribu ton pada 2021.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berikut data impor LPG selama 2011-2021:

- 2011: 1,99 juta ton (45,7% dari total kebutuhan 4,35 juta ton).
- 2012: 2,57 juta ton (51% dari total kebutuhan 5,03 juta ton).
- 2013: 3,29 juta ton (58,6% dari total kebutuhan 5,61 juta ton).
- 2014: 3,60 juta ton (59,1% dari total kebutuhan 6,09 juta ton).
- 2015: 4,24 juta ton (66,5% dari total kebutuhan 6,38 juta ton).
- 2016: 4,47 juta ton (67,3% dari total kebutuhan 6,64 juta ton).
- 2017: 5,46 juta ton (75,9% dari total kebutuhan 7,19 juta ton).
- 2018: 5,57 juta ton (73,7% dari total kebutuhan 7,56 juta ton).
- 2019: 5,71 juta ton (73,6% dari total kebutuhan 7,76 juta ton).
- 2020: 6,39 juta ton (79,7% dari total kebutuhan 8,02 juta ton).
- 2021: 6,34 juta ton (74,1% dari total kebutuhan 8,55 juta ton).


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gas RI Luber, Tapi Kok Bisa-bisanya Lebih Memilih Impor LPG?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular