Dunia Terancam Resesi, Ada Pesan Buat Pak Jokowi Nih!
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia diramal mengalami resesi pada tahun depan. Ramalan 'gelap' ini disampaikan oleh berbagai lembaga internasional, termasuk Bank Dunia, IMF.
Tidak ketinggalan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun meyakini dunia akan masuk ke jurang resesi pada akhir tahun atau awal tahun depan. Resesi ini dipicu oleh laju inflasi yang tinggi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Eropa dan Inggris. Inflasi tinggi ini direspons dengan kenaikan suku bunga yang agresif dan cepat oleh bank sentral di dunia.
"Kalau bank sentral di seluruh dunia meningkatkan suku bunga cukup ekstrem dan bersama-sama, dunia mengalami resesi di 2023," ujarnya, dalam Konferensi Pers APBN KITA Agustus, dikutip Selasa (27/9/2022).
"Kenaikan suku bunga bank sentral di negara maju cukup cepat dan ekstrem dan memukul pertumbuhan negara-negara tersebut," lanjut Sri Mulyani.
Tentunya, Indonesia pun berisiko terdampak dari resesi tersebut. Ekonom Indef Abra El Talattov mengungkapkan implikasi resesi global akan membebani ekonomi Indonesia pada tahun depan, terutama dari sisi perdagangan internasional.
Abra mengingatkan, ketika dunia mengalami resesi, maka harga komoditas energi, terutama mineral cenderung akan mengalami penurunan. Hal ini akan menekan ekspor Indonesia. Padahal setahun terakhir, Indonesia menikmati windfall dari harga komoditas sehingga kinerja ekspor impresif.
"Jika berdampak penurunan harga komoditas ekspor, batu bara dan CPO, penerimaan negara kita dari ekspor dan PNBP akan terpengaruh tahun depan," kata Abra.
"Itu akan menjadi risiko dari APBN kita di sisi penerimaan," lanjutnya.
Jika PNBP dan penerimaan ekspor tidak mencapai target, dia khawatir hal tersebut akan menekan defisit fiskal yang akan dikonsolidasikan di bawah 3% terhadap PDB pada tahun depan.
Di sisi lain belanja subsidi energi cukup besar. Meskipun ada potensi penurunan harga minyak mentah, tetapi Abra melihat kebutuhan atau konsumsi BBM dan LPG masih akan meningkat karena subsidi terbuka masih berlaku.
"Ditambah dengan pelemahan nilai tukar karena negara-negara lain sudah melakukan tapering off dan ini berpotensi menekan nilai tukar rupiah," ungkapnya.
Alhasil, belanja subsidi berisiko kembali bengkak karena nilai tukar melemah dan volume konsumsi meningkat tetapi anggaran subsidi energi tahun depan dialokasikan Rp 210 triliun atau naik Rp 2 triliun dari anggaran pada 2022.
"Artinya ini belum menggambarkan adanya mitigasi terhadap risiko subsidi energi baik BBM dan LPG sehingga pada akhirnya pemerintah perlu menyiapkan buffer atau dana cadangan untuk mengantisipasi kalau nanti kebutuhan tambahan subsidi energi di tengah jalan meningkat," ujar Abra.
Dana cadangan ini bisa diposkan di belanja lain-lain dan bentuknya kompensasi belanja energi.
"Kalau tidak membuat dana cadangan, risiko akan ada kenaikan harga jual ke masyarakat dan ini menambah mendorong kenaikan inflasi. Inflasi yang naik, bisa menghambat ekonomi," tegasnya.
Menurut Abra, inflasi yang tinggi akan menggerus daya beli dan konsumsi rumah tangga. Padahal, kontributor pertumbuhan ekonomi domestik adalah konsumsi rumah tangga.
Selain itu, investasi juga akan mengalami tekanan karena kenaikan suku bunga di negara maju yang direspons dengan kenaikan suku bunga BI.
Suku bunga BI naik tentunya akan memicu kenaikan suku bunga kredit di perbankan dan efek kenaikan suku bunga kredit di perbankan menghambat minat industri untuk melakukan ekspansi.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menilai dalam menghadapi ancaman resesi pemerintah harus memperkuat belanja perlindungan sosial.
Menurutnya, dengan PDB menurut harga berlaku diperkirakan mencapai Rp 18.673 triliun pada 2023, maka porsi belanja perlindungan sosial (perlinsos) hanya 2.5% dari PDB, jika mengacu pada anggaran sebesar Rp 479,1 triliun.
"Idealnya di angka 4-5% dari PDB. Artinya, belanja perlindungan sosial untuk mencegah terjadinya penurunan daya beli kelas rentan miskin dan miskin belum cukup," ungkap Bhima.
Kemudian, dia melihat postur anggaran tahun depan juga masih gemuk. Belanja pegawai dan belanja barang atau belanja yang sifatnya birokratis dengan total mencapai Rp 800 triliun lebih.
Lebih lanjut, Bhima menyarankan pemerintah tambah anggaran subsidi bunga untuk UMKM. Selain itu, belanja Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dapat didorong untuk menopang keterjangkauan masyarakat terhadap sektor properti dari ancaman naiknya suku bunga.
Dia juga berharap pemerintah mulai melakukan mitigasi terkait beban bunga utang di dalam APBN 2023 yang nilainya Rp 441 triliun.
(haa/haa)