Sawit Malaysia Terancam Rugi Miliaran Ringgit, Gini Ceritanya

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
26 September 2022 16:30
Seorang pekerja mengumpulkan tandan buah segar saat panen di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kampar di provinsi Riau, Indonesia, Selasa (26/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan)
Foto: Seorang pekerja mengumpulkan tandan buah segar saat panen di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kampar di provinsi Riau, Indonesia, Selasa (26/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengungkapkan, minat orang Indonesia bekerja di kebun sawit Malaysia kini semakin jauh berkurang.

Sementara, imbuh dia, struktur perkebunan kelapa sawit Malaysia sangat bergantung pada ketersediaan tenaga kerja. 

Akibatnya, sektor kelapa sawit Malaysia rentan terganggu ketika pasokan tenaga kerja dari RI terganggu atau tertahan. Sebab, taraf ekonomi yang lebih tinggi, menyebabkan Malaysia bergantung pada pasokan tenaga kerja asing, termasuk dari Indonesia. 

"Minat orang Indonesia yang mau bekerja di kebun sawit Malaysia sudah jauh menurun saat ini. Karena di Indonesia sudah lebih tersedia kesempatan kerja yang sama, bahkan lebih baik," kata Tungkot kepada CNBC Indonesia, Senin (26/9/2022).

Seperti diketahui, asosiasi minyak sawit Malaysia, Malaysia Palm Oil Association (MPOA) memproyeksikan, potensi kerugian hingga MYR20 miliar akibat keterbatasan tenaga kerja di sektor kelapa sawit negara itu.

Selain itu, dikutip MPOA dari The Vibes, Ketua Pelaksana MPOA Joseph Tek Choon Yee menyebutkan, ada potensi penurunan panen hingga 15-20%, bahkan lebih untuk kasus tertentu.

Masa panen disebutkan semakin lambat dengan interval 30-45 hari, bahkan ada yang sampai 60-90 hari. Dari praktik ideal yang seharusnya interval 10-15 hari.

"Kondisi ini pun akan berdampak pada ekstraksi produk minyak sawit. Di mana, rendemen/ tingkat ekstraksi rata-rata nasional di bulan Juli adalah 19,72% dan untuk inti sekitar 4,88%," katanya dikutip Senin (26/9/2022).

MPOA mengungkapkan, sejak Januari 2022, hanya sekitar 400 ribu orang tenaga kerja asing yang disetujui pengajuannya masuk Malaysia. Itu pun untuk semua sektor dan hanya sekitar 12% yang masuk karena adanya proses-proses yang tertunda.

"Tenaga kerja sangat penting bagi kebun sawit. Sebaliknya, kebun sawit tidak terlalu penting bagi tenaga kerja karena banyak alternatif kesempatan kerja dalam perekonomian. Secara empiris, tenaga kerja cukup kaut menentukan produksi sawit Malaysia. Tenaga kerja pulang kampung, produksi kebun Malaysia turun signifikan," kata Tungkot.

Di dalam negeri sendiri, untuk ukuran pedesaan/pertanian, lanjut dia, upah tenaga kerja di kebun sawit adalah paling tinggi dibandingkan yang lain.

Tidak hanya ke Malaysia, imbuh dia, orang Indonesia sendiri diprediksi akan semakin berkurang minat bekerjanya di kebun sawit.

"Pergeseran preferensi tenaga kerja itu bagian proses modernisasi. Pekerjaan pertanian/ perkebunan di pedesaan lama-lama akan ditinggalkan tenaga kerja. Mereka pindah ke lapangan kerja yang lebih baik,'lebih modern', lebih bergengsi, dan upah yang lebih tinggi," ujarnya.

"Ini bagian dari urbanisasi. Tidak terkait apakah harga harga pertanian/ perkebunan naik atau turun," tambahnya.

Karena itu, lanjut dia, mekanisasi perkebunan kelapa sawit tak bisa dihindari lagi. Sehingga, imbuh dia, dibutuhkan penguatan organisasi petani atau kelembagaan sehamparan sehingga bisa bersama-sama memiliki mekanisasi.

"Jika tidak mekanisasi, produktivitas rendah. Sementara, akan menghadapi tenaga kerja yang makin langka. Sebaliknya, jika dilakukan mekanisasi memang dalam jangka pendek akan terjadi kelebihan pasokan tenaga kerja di pedesaan. Karana itu, mekanisasi perlu disertai dengan diversifikasi usaha di kawasan pedesaan," jelas Tungkot.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Beri Karpet Merah Tenaga Kerja Asing di Proyek IKN

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular