
Belasan Tahun Berlalu, Apa Kabar Kasus Lumpur Lapindo?

Jakarta, CNBC Indonesia - Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo 16 tahun silam masih menyisakan masalah sosial terkait pembayaran ganti rugi. Permasalahan ini kemudian diungkit kembali oleh parlemen dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama pemerintah.
Anggota Banggar Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sungkono meminta kepada pemerintah untuk adanya perlindungan hukum dan kepastian bagi korban lumpur Lapindo.
"Saya tidak melihat ini, yang pasti para korban lumpur sudah hampir 17 tahun berjalan belum diselesaikan, terutama para pengusaha (yang tidak dapat ganti rugi). Jadi, penderitaan ini pemerintah tidak hadir di sini," jelas Sungkono di dalam ruang rapat Banggar DPR, Selasa (20/9/2022).
Sungkono menjabarkan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2013, negara harus hadir dalam rangka menyelesaikan program lumpur Lapindo. Padahal, dari catatannya Kementerian PUPR sudah pernah melakukan permohonan anggaran untuk mengganti rugi korban lumpur Lapindo.
"Maka dari itu para pengusaha mengungkapkan, jangan sampai program ini diabaikan lagi atau dilupakan. Mohon bantuan pemerintah menghargai para korban, bukan minta tapi menuntut haknya yang selama ini sudah tidak ada nilainya," jelas Sungkono.
Masih dari fraksi PAN, Eko Hendro Purnomo alias Eko 'Patrio' juga menegaskan negara harus hadir dalam penyelesaian masalah sosial lumpur Lapindo.
Mengingat ganti rugi korban Lapindo sudah tertuang di dalam keputusan MK, yang menyebut negara dengan kekuasaan yang ada harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti rugi sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam peta wilayah yang terdampak.
"Sudah jelas, maka dari itu sikapi. Ini saudara kita juga. Kasian, kalau masuk lagi ke warga Lapindo, 16 tahun banyak (korban) yang meninggal, stress, dan bahkan banyak yang prustasi, tolong dikaitkan ke masalah Lapindo," jelas Eko dalam ruangan yang sama.
Ada juga anggota Banggar DPR Fauzi H Amro dari Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem). Fauzi menyebut, dari data yang diperolehnya sudah ada pembicaraan pendahuluan dengan pihak pemerintah. Kala itu pemerintah diharapkan menyelesaikan atau menuntaskan penanganan masalah sosial yang terdampak Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
"Kami menuntut kepada pemerintah untuk serius menyelesaikan persoalan penyelesaian Lapindo. Jangan sampai alasan pemerintah perhitungannya belum jelas, tinggal pemerintah mau atau tidak menyelesaikan Lapindo... Kami menerima laporan dari korban," tegas Fauzi.
Seperti diketahui, pada 2015 silam MK mengabulkan gugatan pengusaha yang menjadi korban lumpur Lapindo. Sebanyak 25 pengusaha mempermasalahkan dana talangan ganti rugi untuk masyarakat korban semburan lumpur ke MK. Mereka menggugat UU APBN-P 2015 ke MK. Mereka menggugat Pasal 23 B ayat 1, 2 dan 3 UU tersebut ke MK.
Para pengusaha merasa tidak adil dengan adanya UU APBN-P 2015 tersebut, karena bleid tersebut hanya mengamanatkan dana APBN yang dialokasikan negara di Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hanya bisa digunakan untuk membayar ganti rugi masyarakat yang berada di luar peta area terdampak semburan saja. Sementara untuk korban yang berada di peta area terdampak, pembayaran ganti rugi dibebankan kepada PT Lapindo Brantas.
Kemudian MK mengabulkan gugatan para pengusaha yang merasa dirugikan tersebut, dengan mengeluarkan putusan nomor 83 tahun 2013 dan nomor 65 tahun 2015, yang menyatakan tidak ada perbedaan antara ganti rugi untuk pengusaha dan warga biasa yang sama-sama menjadi korban lumpur.
Dua tahun berselang pasca putusan MK kala itu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2017 akhirnya membubarkan BPLS, yang kemudian tugas-tugas BPLS dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR).
Berpegang pada putusan MK beberapa tahun silam tersebut, menurut Fraksi PAN dan NasDem seharusnya bisa memudahkan masyarakat yang berada di area terdampak untuk mendapatkan ganti rugi dengan menggunakan uang dari negara, sama dengan yang di luar peta terdampak.
Pemerintah: Tidak Mungkin Kami Menyengsarakan Korban Lapindo
Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal Fatah kemudian menanggapi sikap fraksi PAN dan NasDem yang mempertanyakan terkait tindak lanjut pemerintah untuk pembayaran ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak semburan Lapindo di Sidoarjo.
Zainal tak menampik, atas dasar keputusan MK 2013 junto 2015 diakui memang negara harus menjamin dan memastikan pelunasan ganti rugi korban lumpur Lapindo.
"Atas dasar keputusan MK 2013 junto 2015 juga, bahwa di situ memang diarahkan negara menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya kepada masyarakat oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu," ujarnya dalam rapat bersama Banggar DPR, Selasa (21/9/2022).
Kendati demikian, kata Zainal amar di situ tidak diputus begitu saja, karena terdapat kalimat 'pelunasan oleh perusahaan tersebut dilakukan oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu'.
Di samping itu juga, kata Zainal terdapat hasil audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan ditemukan sejumlah fakta baru.
"Setelah diaudit dari BPKP, ditemukan dua fakta yang sebelumnya mungkin belum pernah terungkap," ujar Zainal.
Dua fakta yang belum pernah terungkap yang dimaksud yakni, terdapat perjanjian pengungkapan jual beli dengan akta notaris yang statusnya rahasia. Perjanjian tersebut dilakukan oleh para pengusaha yang terdampak dengan pihak Minarak Lapindo Jaya.
"Di perjanjian nomer 4 dan 5, intinya di situ adalah para pihak yang bersepakat, apabila pihak Minarak tidak bisa melunasi, maka 30% uang muka yang sudah diberikan itu tidak boleh ditarik dan sertifikat yang disimpan di safety box itu diambil oleh pihak yang memiliki tanah," jelas Zainal.
"Kurang lebih seperti itu isinya. Ini terungkap dari laporan audit yang dilaksanakan BPKP," ujarnya lagi.
Kemudian, kata Zainal, Kementerian PUPR juga telah mendapatkan tugas untuk melakukan tanggung jawab dari yang sebelumnya dilakukan oleh BPLS yang sudah dibubarkan.
Saat itu juga diketahui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Basuki Hadimuljono merupakan Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
"Kami menerima penerusan surat laporan yang disampaikan oleh Mensesneg (Kementerian Sekretaris Negara), memang disitu disampaikan untuk melaksanakan, karena memang dengan Perpres 21/2017 tentang pembubaran BPLS, bahwa tugas-tugas BPLS dilaksanakan oleh Kementerian PUPR," ujarnya.
Oleh karena itu, Zainal bilang, pelaksanaan tugas-tugas BPLS ini tidak mungkin keluar dari koridor yang sudah digariskan oleh keputusan atau hal-hal lain yang mengatur tentang itu.
"Kami memberikan keyakinan bahwa negara memang harus memberi pelayanan yang lebih baik. ... Kekuasaan negara sebagaimana disebutkan dalam keputusan MK, seharusnya tetap menggunakan kekuasaan negara dalam pengertian trias politica," ujarnya.
Artinya, negara dalam hal ini pemerintah melakukan sesuatu, sementara dua pihak lainnya baik itu PT Lapindo Berantas dan para korban semburan Lapindo juga melakukan upaya.
"Oleh karena itu sebenarnya tetap terbuka gugatan para pengusaha kepada Lapindo, namun demikian kami internal pemerintah tidak berhenti untuk itu, jika keputusan berubah. Kami pada 2020 sudah melakukan komunikasi dengan Kementerian Keuangan," jelas Zainal.
Komunikasi dengan Kementerian Keuangan adalah jaminan apabila sewaktu-waktu keputusan hukum mengharuskan para pengusaha yang terkena dampak semburan Lapindo harus diganti rugi dengan APBN.
Pemerintah berjanji tidak akan menyengsarakan para korban yang mengalami dampak korban semburan Lapindo.
"Seandainya keputusan ini jatuh harus dibayarkan oleh pemerintah, kami sudah mengajukannya. Namun, tidak secara langsung bisa menjawab. Namun ini informasi yang bisa kami sampaikan," tuturnya.
"Insya Allah semangatnya sama, tidak mungkin kami menyengsarakan (korban semburan Lapindo), tapi koridornya seperti itu, apalagi sudah ada audit dari BPKP," pungkas Zainal.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dicari-cari Dunia, Barang Langka Ini Ada di Lumpur Lapindo
