Demi Amankan Harta Karun Domestik, RI Bisa Kalah di WTO?

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
08 September 2022 12:20
A worker poses with a handful of nickel ore at the nickel mining factory of PT Vale Tbk, near Sorowako, Indonesia's Sulawesi island, January 8, 2014. REUTERS/Yusuf Ahmad
Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kabar buruk terkait proses gugatan terhadap larangan ekspor bijih nikel Indonesia oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Presiden Jokowi secara mengejutkan menyebut kemungkinan Indonesia akan kalah dari gugatan Uni Eropa di WTO tersebut. Meski belum ada keputusan resmi dari WTO, Jokowi mengaku tidak kecewa dengan apapun hasil dari penyelesaian gugatan di ranah internasional ini karena industri pengolahan dan pemurnian nikel di dalam negeri juga telah terbangun.

"Nggak perlu takut setop ekspor nikel. Dibawa ke WTO nggak apa-apa. Dan kelihatannya kita juga kalah di WTO. Nggak apa-apa, tapi barangnya sudah jadi dulu, industrinya sudah jadi. Nggak apa-apa, kenapa kita harus takut? Kalau dibawa ke WTO kalah. Kalah nggak apa-apa, syukur bisa menang," papar Jokowi dalam acara 'Sarahsehan 100 Ekonom' oleh INDEF dan CNBC Indonesia, Rabu (7/9/2022).

"Tapi kalah pun nggak apa-apa, industrinya sudah jadi dulu. Nanti juga sama. Ini memperbaiki tata kelola dan nilai tambah ada di dalam negeri," tambah Jokowi.

Pernyataan Presiden tersebut cukup mengejutkan. Pasalnya, sejak digugat Uni Eropa tersebut, Pemerintah Indonesia, bahkan Presiden Jokowi sendiri telah berkali-kali mengungkapkan optimismenya bahwa Indonesia akan menang di gugatan ini.

Pasalnya, kebijakan larangan ekspor bijih nikel ini ditujukan untuk mengoptimalisasikan sumber daya alam di dalam negeri. Sebelum adanya kebijakan larangan ekspor bahan mentah, termasuk bijih nikel ini, Indonesia jor-joran mengekspor bijihnya.

Akibatnya, tak ada nilai tambah dari hasil sumber daya alam di negeri ini. Nilai tambah justru dinikmati oleh negara-negara lain yang membeli bijih nikel Indonesia.

Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM 2019, cadangan nikel RI mencapai 72 juta ton nikel atau 52% dari total cadangan dunia 139,4 juta ton nikel. Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia.

"Kita tidak mendapatkan nilai tambah, tidak mendapatkan value added apapun," kata Jokowi saat bercerita soal keputusan mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020, di dalam Sidang Terbuka Senat Akademik Dies Natalis ke 46 UNS, Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (11/3/2022).

Keterkejutan pernyataan Jokowi atas kemungkinan kekalahan Indonesia di gugatan WTO ini juga datang dari salah satu praktisi industri nikel. Praktisi industri nikel ini mengaku kaget dengan pernyataan Presiden Jokowi tersebut.

"Wow, kok bisa kalah ya? Kok saya tidak percaya.. Ada alasan RI yang cukup kuat," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (08/09/2022).

Menurutnya, Indonesia bisa menyebutkan alasan dibuatnya kebijakan larangan ekspor bijih nikel ini, salah satunya terkait dampak lingkungan. Dengan kebijakan larangan ekspor bijih nikel, maka Indonesia berkontribusi untuk mengurangi dampak lingkungan.

"Kalau di WTO memang tidak boleh ada restriction of trade, tapi ada beberapa pengecualian, misalnya kalau mau mengurangi dampak lingkungan. Kan Indonesia bisa menggunakan alasan ini ke WTO," tuturnya.

Seperti diketahui, Indonesia mulai melarang ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020. Rencana kebijakan larangan ekspor bahan mentah ini memang telah dipublikasikan sejak beberapa bulan sebelumnya.

Mendengar rencana kebijakan RI ini, Uni Eropa sebagai salah satu pembeli bijih nikel RI menggugat ke WTO.

UE telah menyoroti langkah dan kebijakan Indonesia di sektor minerba dan pada akhirnya mengajukan secara resmi permintaan konsultasi kepada Indonesia di bawah mekanisme penyelesaian sengketa pada WTO di akhir November 2019.

Selanjutnya, proses konsultasi sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan antara Indonesia dan UE, telah dilaksanakan pada Januari 2021 di Sekretariat WTO di Jenewa, Swiss.

Dalam proses konsultasi ini, Pemerintah Indonesia telah menjelaskan atas pokok-pokok persoalan yang diangkat UE seperti pelarangan ekspor,
persyaratan pemrosesan di dalam negeri, kewajiban pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation), mekanisme dan persyaratan persetujuan ekspor dan pembebasan bea masuk bagi industri.

Indonesia telah menolak permintaan tersebut pada pertemuan DSB WTO di Januari 2021 karena yakin bahwa kebijakannya telah sesuai dengan ketentuan WTO dan amanat konstitusi.

Namun demikian, dalam pertemuan reguler Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body - WTO) pada 22 Februari 2021, UE secara resmi untuk kedua kalinya meminta pembentukan panel sengketa DS 592 - Measures Relating to Raw Materials.

Gugatan UE pada akhirnya berkurang dengan hanya mencakup dua isu, yakni pelarangan ekspor nikel dan persyaratan pemrosesan dalam negeri. Sedangkan UE tetap mengajukan pembentukan panel dengan alasan karena pihaknya melihat kebijakan Indonesia sebagai tindakan yang tidak sejalan dengan ketentuan WTO, merugikan kepentingan UE, serta memberikan unfair dan disadvantages bagi industri domestiknya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hilirisasi Harga Mati, Jokowi Siap Perang Lawan WTO

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular