Sri Mulyani Takut Petaka di Eropa Cs Masuk RI, Ini Ramalannya
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengkhawatirkan gelombang panas di Eropa berpotensi terjadi di Indonesia tahun depan. Pasalnya, Sri Mulyani melihat adanya prakiraan terjadinya El Nino di tahun depan.
Akibatnya, Sri Mulyani memprediksi produksi pertanian Indonesia tahun 2023 akan turun dari proyeksi awal 4-4,2% di Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) menjadi 3,7%.
Pengamat Pertanian Khudori mengatakan, kondisi kekeringan dan cuaca buruk ekstrem yang melanda Eropa, AS, dan China memang mengerikan. Namun, lanjutnya, tidak bisa dipastikan sampai kapan kondisi cuaca ekstrem itu akan berlangsung.
"Durasi waktu ini akan menentukan seberapa besar dampaknya pada ekonomi, termasuk produksi pangan. Semakin lama dia berkecamuk, potensi untuk menurunkan produksi pangan semakin besar. Jika itu terjadi, peluang krisis pangan memburuk kian besar," kata Khudori kepada CNBC Indonesia dikutip Selasa (6/9/2022)
"Kalkulasi FAO, awal Juli lalu, produksi pangan, terutama serealia memang menurun akhir tahun ini. Tapi penurunannya tidak besar. Situasi akan berbeda jika cuaca buruk dan ekstrem itu berlangsung lama," tambahnya.
Bagi Indonesia, ujarnya, akan terasa dampaknya terutama untuk pangan yang masih mengandalkan impor. Seperti kedelai, gandum, bawang putih, dan daging sapi.
"Sejauh ini, belum ada informasi ada kegagalan panen masif di Indonesia. Tiga tahun terakhir Indonesia memang diuntungkan oleh cuaca yang bersahabat. Dengan hadirnya La Nina tiga tahun berturut-turut. Produksi sejumlah komoditas pangan yang baik antara lain karena kemurahan alam itu," kata dia.
Tahun ini, ujar Khudori, kemungkinan kondisi tidak akan jauh berbeda dengan tahun lalu.
"Produksi pangan baik-baik saja. Ancaman serius justru terjadi pada perubahan subsidi pupuk, dari 70-an komoditas yang bisa mengakses pupuk susbidi tinggal 9. Dan jenis pupuk hanya tinggal dua jenis yaitu Urea dan NPK," katanya.
Sementara, harga pupuk nonsubdisi tengah naik gila-gilaan.
Karena itu, dia menambahkan, faktor global tidak terlalu mengkhawatirkan produksi pangan terutama di Indonesia. Hanaya saja, imbuh dia, fluktuasi harga harus diwaspadai, terutama dengan kenaikan harga BBM.
"Kalau negara tidak bisa menjamin harga pupuk terjangkau, justru ini jadi ancaman produksi pangan. Bukan dari cuaca. Apalagi, harga BBM naik berpengaruh pada biaya produksi pertanian juga," kata Khudori.
Lalu bagaimana peluang cuaca di Indonesia tahun depan?
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan, kondisi cuaca di Indonesia pada tahun 2022/2023 akan cenderung mengalami La Nina lemah.
Di mana, sebagian besar wilayah mengalami kondisi cuaca hujan normal dan sesuai jadwal. Meski, ada beberapa daerah yang mengalami curah hujan lebih banyak dan lebih sedikit, juga ada yang terlambat.
"Diprakirakan musim hujan akan dimulai lebih awal dibandingkan normalnya dengan kondisi hujan normal sebagian besar. Yang normal sekitar 68,38% atau 478 ZOM (zona musim), namun 26,47% ZOM berpotensi musim hujan di atas normalnya, dan ada 5,15% ZOM di bawah normal atau lebih kering yang berpeluang alami karhutla (kebakaran hutan dan lahan)," kata Dwikorita saat pemaparan Prakiraan Musim Hujan 2022/2023 ditayangkan akun Youtube Info BMKG, dikutip Selasa (6/9/2022).
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, produksi pertanian di Indonesia mengalami peningkatan sekitar 30% rata-rata selama 10 tahun terakhir.
Hal itu, kata dia, karena praktik pertanian yang dilakukan petani memberdayakan informasi iklim dari BMKG.
"Kegiatan pertanian yang bisa memitigasi dampak hujan ekstrem dalam jangka waktu singkat. Kita baru saja mendapat penghargaan swasembada pangan dari IRRI karena kondisi cauca yang cenderung basah 3 tahun terakhir. Asal kegiatan pertanian siap hadapi cuaca harian ekstrem, kondisi basah ini juga sebenarnya menguntungkan bagi pertanian," kata Ardhasena.
Untuk tahun 2023, lanjutnya, outlook cuaca di Indonesia, perlahan La Nina akan menuju kondisi netral.
"Sampai akhir tahun masih La Nina lemah. Biasanya setelah La Nina berapa tahun akan kembali ke netral. Sehingga perlu diwaspadai tahun depan khususnya pertengahan tahun, karhutla akan meningkat potensinya dari tahun ini. Jadi, perlu diwaspadai di beberapa daerah dengan pola musim ekuatorial seperti Riau," kata Ardhasena.
Hanya saja, Dwikorita menambahkan, kerusakan lahan, fenomena ekstrem, dampak perubahan iklim, menyebabkan periode berulang kondisi cuaca bisa meleset.
"Nggak hanya masalah cuaca dan iklim, tapi juga dipengaruhi laju perkembangan perubahan lahan," kata Dwikorita.
BMKG mencatat, sepanjang tahun 1981 -2020, periode ulang El Nino maupun La Nina di Indonesia cenderung berulang semakin cepat dibandingkan tahun 1950-1980.
Sementara itu, Organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) kembali memangkas proyeksi produksi pangan jenis biji-bijian atau serealia tahun 2022. Akibat kekeringan berlanjut yang melanda di negara-negara bagian Utara bumi. Seperti, Eropa, China, dan Amerika Serikat (AS).
Dalam laporan yang dirilis 2 September 2022, FAO memprediksi, produksi serealia global 2,774 miliar ton, lebih rendah sekitar 17 juta ton dari proyeksi di bulan Juli 2022 yang mematok 2,791 miliar ton. Estimasi itu juga lebih rendah 1,4% atau 38,9 juta ton dibandingkan produksi tahun lalu.
Penurunan terutama dipicu akibat anjloknya produksi jagung di Uni Eropa akibat gelombang panas dan kekeringan. Yang menyebabkan produktivitas turun 16% dalam rata-rata 5 tahun terakhir.
Gangguan cuaca juga menyebabkan ekspektasi produksi jagung di Amerika Serikat (AS) turun.
Di sisi lain, estimasi produksi gandum dunia justru dinaikkan 6,7 juta ton menjadi 777 juta ton tahun ini. Meski masih lebih rendah dibandingkan tahun 2021. Ironisnya, produksi gandum meningkat karena cuaca yang mendukung di Kanada dan AS. Bahkan, produksi di China dikabarkan bakal naik melampaui ekspektasi.
Sementara itu, prediksi penggunaan serealia dunia tahun ini dipangkas 5,1 juta ton jadi 2,792 miliar. Turun sekitar 0,15 atau 2,8 juta ton dibandingkan periode tahun 2021/2022. Secara umum, penurunan konsumsi akibat ekspektasi produksi yang berpotensi turun. Akibatnya, industri pakan menurunkan rencana konsumsi tahun ini.
Di sisi lain, prediksi konsumsi gandum dunia dinaikkan 0,2% atau 2,2 juta ton mendekati posisi tahun 2021/2022 yang mencapai 773 juta ton.
(dce/dce)