Suku Bunga Sudah Naik, Kalau BBM Ikutan Apa Kabar Ekonomi RI?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
26 August 2022 12:20
SPBU Pertamina, Kemang (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: SPBU Pertamina, Kemang (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan ke level 3,75%, setelah 18 bulan bertahan di level 3,5%. Kebijakan ini merupakan langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Keputusan ini bak kejutan. Bukan tanpa alasan, Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) ini di luar ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia menyatakan bahwa mayoritas responden memperkirakan geng MH Thamrin masih mempertahankan suku bunga acuan.

Namun ini merupakan suatu langkah BI untuk menekan ekspektasi inflasi akibat kenaikan BBM nonsubsidi dan volatile food. Sebagai informasi, inflasi nasional per Juli 2022 sudah mencapai 4,94% year-on-year (yoy), tertinggi sejak 2017.

Di tengah inflasi Tanah Air yang kian meninggi, isu kenaikan harga BBM Pertalite dan solar tengah menjadi perbincangan hangat. BBM jenis Pertalite digadang-gadang akan naik menjadi Rp10.000 per liter, sementara solar akan dikerek jadi Rp8.000 per liter.

Saat ini, pemerintah tengah mengkaji opsi pengendalian subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Salah satu opsi yang mengemuka adalah menaikkan harga, terutama untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar bersubsidi.

Sepanjang periode 2005-2022, diketahui pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi sebanyak lima kali yakni dua kali pada 2005, satu kali pada 2008, 2013, dan 2014. Kenaikan harga tersebut menunjukkan pola yang sama yaitu inflasi akan melonjak tajam begitu harga BBM dinaikkan.

Inflasi dampak lanjutan (second round effect) kerap kali lebih besar dibandingkan dampak pertama (first round effect). Pola tahunan juga menunjukkan sejumlah barang dan jasa juga akan selalu mengalami lonjakan harga, terutama tarif angkutan.

Periode

Besaran Kenaikan (%)

Bulan

Inflasi Bulanan

Inflasi Tahun Berjalan

Maret 2005

29%

Maret

1,91%

17,11%

April

0,34%

Oktober 2005

114%

Oktober

8,7%

November

1,31%

Mei 2008

28%

Mei

1,41%

11,06%

Juni

2,46%

Juli 2013

20%

Juni

1,02%

8.38%

Juli

3,29%

Nov-14

34%

November

1,5%

8,36%

Desember

2,46%

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)

Jika mengambil satu kasus pada kenaikan harga BBM Maret 2005, harga BBM subsidi rata-rata sebesar Rp 29% untuk menekan beban anggaran yang semakin bengkak. Pada periode tersebut Premium merupakan BBM yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia.

Harga Premium dinaikkan 32,6% dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400 per liter. Solar yang banyak digunakan untuk sektor transportasi dinaikkan 27% menjadi Rp 2.100 per liter dari Rp 1.650 per liter.

Setelah kenaikan pada awal bulan, inflasi Maret menembus 1,91% (month to month/mtm) tetapi melandai menjadi 0,34% pada April.

Angkutan dalam kota mengalami dampak terparah dengan menyumbang inflasi sebesar 0,69% pada kenaikan Maret dan 1,84% pada kenaikan Oktober 2005. Tarif taksi juga menyumbang inflasi cukup besar, masing masing 0,0008% pada kenaikan Maret dan 0,03% pada kenaikan Oktober 2005.

Semester II-2005 telah diwarnai dengan memburuknya kondisi makro ekonomi di tanah air memicu turunnya daya beli masyarakat. Sehingga kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya terganggu efek domino dari kenaikan BBM dan membuat masyarakat terpaksa harus menata ulang pemenuhan kebutuhan primernya.

Kenaikan harga BBM juga berdampak kepada harga padi, sayuran, hasil ternak, perikanan laut, gula, beras, pupuk, pertambangan, industri baja, listrik, gas, air bersih, konstruksi, perdagangan, restoran, hotel, angkutan kereta api, angkutan darat, pelayaran, angkutan air, angkutan udara, komunikasi, hingga keuangan.

Kenaikan BBM malah bisa memicu inflasi, apalagi yang dinaikkan jenis Pertalite yang paling banyak dikonsumsi masyarakat.

Kenaikan suku bunga acuan seakan menjadi 'kode keras' bahwa BI sudah berekspektasi inflasi bakal lebih tinggi akibat kenaikan harga Pertamax dan sejenisnya. Sehingga, langkah BI menaikkan suku bunga guna meredam inflasi bisa memberikan dampak baik ke masyarakat, daya beli akan tetap terjaga, tentunya dengan catatan suku bunga kredit tidak ikut naik.

Wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi Pertalite tak hanya berpotensi mendongkrak harga produk-produk di masyarakat, melainkan juga tren inflasi Indonesia di masa mendatang.

Inflasi cukup mempengaruhi posisi daya beli masyarakat. Kelompok masyarakat menengah ke bawah tentu akan lebih rentan terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok akibat penyesuaian harga BBM subsidi.

Sejumlah komponen penyumbang utama kenaikan inflasi, di luar naiknya harga BBM, adalah harga makanan-minuman serta tarif transportasi. BBM sebagai salah satu elemen utama, bahkan terbesar, dalam komponen ongkos produksi dan distribusi.

Selain itu, jika harga BBM naik maka akan berefek negatif pada konsumsi masyarakat tercermin pula dari pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). IKK menunjukkan sikap responden survei pada berbagai hal yang terkait dengan kondisi ekonomi secara keseluruhan yang mampu mempengaruhi rasa optimis konsumsinya.

Pada Juli 2022, survei Konsumen Bank Indonesia mengindikasikan optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi masih tetap terjaga. Hal tersebut tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juli 2022 sebesar 123,2, tetap berada dalam zona optimis di atas 100.

Di sisi lain, pemerintah juga dihadapkan pada posisi pelik ketika menentukan kenaikan harga BBM subsidi. Apalagi, beban subsidi yang mesti ditanggung pemerintah sudah terlampau besar. Mengurangi subsidi energi sebenarnya bisa jadi pilihan, meski bukan pilihan yang mudah.

Jika BBM tetap naik muncul pula kekhawatiran akan terhambatnya pertumbuhan ekonomi karena dampak kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi akibat komponen biaya yang naik.

Membahas pertumbuhan ekonomi Indonesia, kenaikan harga BBM bukan hanya mempengaruhi harga komoditas, tetapi juga potensi daya beli yang menurun. Hal inilah yang menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi. Tetapi, dapat dikatakan Indonesia seakan masih jauh dari resesi.

Resesi merupakan istilah yang lumrah dipakai untuk mendefinisikan pertumbuhan negatif perekonomian suatu negara selama dua kuartal beruntun.

Hal ini dibuktikan dengan data PDB Tanah Air yang masih tumbuh tinggi. Pada kuartal II-2022 ekonomi Ibu Pertiwi tumbuh 5,44% secara (yoy). Lebih baik ketimbang pencapaian kuartal I-2022 yang tumbuh 5,01%.

Sementara, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tanah Air pada kuartal III-2022 masih tinggi. Bahkan lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya.

"(Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022) sudah tinggi yaitu 5,44%, ini lebih tinggi dari perkiraan BI yang 5,1%. Pada kuartal III-2022 juga tinggi, bahkan bisa lebih tinggi dari kuartal II-2022," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Agustus 2022, Selasa (23/8/2022).

Permintaan domestik sudah cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, BI memproyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2022 akan berada di batas atas kisaran 4,5-5,3%. Ekonomi nasional yang masih kuat tersebut menjadi salah satu alasan BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan.

Faktor domestik dimana konsumsi dan investasi yang menyusun komponen pertumbuhan adalah modal kuat bagi Indonesia. Selama dua komponen tersebut membaik dengan mobilitas yang tinggi, pemulihan ekonomi di Indonesia akan terus berlanjut.

Meski demikian, jika berkaca pada 2013 dan 2014, pelambatan ekonomi niscaya akan terjadi. 

Pada tahun 2013 pemerintah menaikkan harga BBM Premium di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% year-on-year (yoy).

Kenaikan inflasi tersebut membuat nilai tukar rupiah tertekan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).

Alhasil, BI harus mengerek suku bunganya sebanyak 5 kali dengan total 175 basis poin menjadi 7,5%.

Pada 2014, pemerintah kembali menaikkan harga Premium pada November sebesar 30%, yang kembali memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (yoy).

BI pun kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 7,75%.

Tidak hanya rupiah, inflasi yang tinggi juga bisa berdampak buruk ke perekonomian. Daya beli masyarakat bisa tergerus. Sedangkan, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi, yakni sekitar 54%.

Di sisi lain, suku bunga tinggi membuat ekspansi dunia usaha melambat,

Alhasil pelambatan ekonomi pun terjadi. Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% (yoy). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia mayoritas di bawah 5%.

TIM RISET CNCB INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular