
Fakta Sejarah Kelahiran Ukraina hingga Mau Dicaplok Rusia

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang antara Rusia dan Ukraina masih terus berlangsung sengit. Walau telah mencapai bulan keenam, pertempuran masih terus terjadi di wilayah Timur dan Selatan Ukraina.
Pertempuran ini nyatanya terkait dengan sejarah hubungan antara kedua jiran di Eropa Timur itu. Ukraina dahulu merupakan bagian dari Uni Soviet.
Pemisahan kedua negara terjadi saat Uni Soviet runtuh pada tahun 1991. Saat itu, bagian Uni Soviet terbesar menjadi Rusia dan sisanya menjadi negara-negara lain, contohnya adalah Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Belarusia.
Di tahun yang sama, Ukraina ikut memutuskan untuk merdeka menjadi negara sendiri. Kemerdekaan ini didapatkan dari referendum yang juga sekaligus memilih pemimpin Ukraina era Soviet, Leonid Kravchuk, sebagai presiden pertama negara itu.
Kravchuk kemudian digantikan oleh Leonid Kuchma pada 1994. Hal ini terjadi saat Ukraina setuju untuk melepaskan persenjataan nuklirnya yang saat itu merupakan ketiga terbesar dunia. Pelepasan ini sendiri sebagai imbalan atas jaminan keamanan di bawah Memorandum Budapest yang ditandatangani juga oleh Rusia, Amerika Serikat (AS), dan Inggris.
Pada 2004, figur pro-Rusia Viktor Yanukovich terpilih menjadi presiden negara itu. Namun, tuduhan kecurangan suara memicu protes dalam apa yang dikenal sebagai Revolusi Oranye dan memaksa dilakukan pemilihan ulang.
Dalam pemilihan ulang, seorang mantan perdana menteri pro-Barat, Viktor Yuschenko, pun akhirnya terpilih sebagai presiden. Yuschenko mengambil alih kekuasaan dengan janji untuk memimpin Ukraina keluar dari orbit Kremlin, menuju NATO dan Uni Eropa (UE).
Pada pemilihan 2010, Yanukovich mengalahkan Tymoshenko dalam pemilihan presiden. Dalam kemenangan ini, Yanukovich membuat kesepakatan dengan Rusia untuk memperpanjang sewa Angkatan Laut Moskow di pelabuhan Laut Hitam Krimea yang ditukar kesepakatan harga gas sebagai imbalannya.
Memasuki tahun 2013, Yanukovich menangguhkan pembicaraan perdagangan dan asosiasi dengan UE pada November dan memilih untuk menghidupkan kembali hubungan ekonomi dengan Moskow. Ini pun memicu demo massal berjilid-jilid di Kyiv. Presiden Rusia Vladimir Putin menuduh Barat menghasut dan mendukung protes.
Pada awal 2014, protes pun mencapai klimaksnya. Saat itu, protes yang dinamakan Revolusi Maidan berubah menjadi kekerasan. Puluhan pengunjuk rasa tewas.
Pada bulan Februari, parlemen memilih untuk menurunkan Yanukovich. Saat demonstrasi dan penggulingannya berlangsung, Yanukovich melarikan diri.
Beberapa hari setelahnya, sekelompok orang bersenjata merebut parlemen di Krimea dan mengibarkan bendera Rusia. Moskow pun akhirnya menguasai wilayah itu setelah referendum 16 Maret dengan dukungan luar biasa Krimea untuk bergabung dengan Rusia.
Tak lama setelahnya, di bulan April 2014, separatis pro-Rusia di wilayah Donbas timur Ukraina mendeklarasikan kemerdekaan. Pertempuran pecah dan berlanjut secara sporadis hingga 2022.
Di Juni 2014, seorang taipan dan politisi Petro Poroshenko dilantik menjadi presiden Ukraina. Ia menang dalam pemilihan umum dengan 54,7% suara.
Pada Juli 2014, sebuah rudal buatan Rusia menjatuhkan pesawat penumpang Malaysia Airlines MH17 di atas Ukraina timur dalam perjalanan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur, menewaskan semua 298 orang di dalamnya. Meski begitu, Moskow menolak keterlibatannya dalam jatuhnya pesawat penumpang itu.
Kemudian, masuk di tahun 2017, Poroshenko yang pro-Barat meraih perjanjian asosiasi dengan UE tentang perdagangan bebas barang dan jasa. Ukraina juga mendapatkan hak untuk perjalanan bebas visa ke UE.
Pada April 2019, Poroshenko dikalahkan oleh Volodymyr Zelensky dalam pemilu Ukraina. Zelensky, yang merupakan seorang komedian, unggul dengan janji mengatasi korupsi dan mengakhiri perang di Ukraina Timur.
Masuk di tahun 2021, Zelensky mengajukan pengajuan untuk masuk ke NATO pada Presiden AS Joe Biden. Hal ini direspon keras oleh Rusia yang menurunkan pasukannya besar-besar ke dekat wilayah kedaulatan Kyiv.
Rusia sendiri akhirnya mengajukan permintaan kepada NATO pada Desember 2021. Moskow meminta agar NATO menghentikan aktivitas militer apa pun di Eropa timur dan Ukraina. Sebagai tanggapan, NATO menegaskan komitmennya terhadap kebijakan keterbukaan dan menawarkan diskusi tentang masalah keamanan.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pada 21 Februari, Putin mengatakan bahwa Ukraina adalah bagian integral dari sejarah Rusia dan tidak pernah memiliki sejarah kenegaraan asli. Ia menganggap hal ini menjadikan negara itu akhirnya memiliki rezim boneka.
Tak lama berselang, di hari yang sama, Putin menandatangani perjanjian untuk mengakui wilayah yang memisahkan diri di Ukraina timur sebagai wilayah merdeka dan memerintahkan pasukan Rusia di sana.
Pada 24 Februari, Putin menyatakan perang dalam pidato yang disiarkan televisi sebelum fajar dan Rusia meluncurkan invasi tiga arah, menargetkan pasukan Ukraina dan pangkalan udara dengan rudal dan artileri dan menyerang daerah di kota-kota. Saat puluhan ribu orang meninggalkan rumah mereka, Zelensky memerintahkan mobilisasi umum.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Putin Ngamuk, Rusia Bom Pencakar Langit Uni Soviet di Ukraina
