Internasional

Waduh! 6 Negara Ini Pening Dilanda Resesi Seks, Ada RI?

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
Senin, 22/08/2022 21:00 WIB
Foto: Orang-orang dengan menggunakani masker menyeberang jalan pada jam sibuk pagi hari di Central Business District (CBD) di distrik Chaoyang, di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19) di Beijing, China, Kamis (5/4/2022). (REUTERS/Carlos Garcia Rawlins)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia tengah digemparkan oleh fenomena resesi seks. Populasi di sejumlah negara diprediksi menyusut dan membawa dampak negatif terhadap ekonomi.

Adapun, resesi seks mengacu pada kemerosotan hubungan seks yang berimplikasi pada rendahnya keinginan untuk memiliki anak dalam sebuah keluarga. Tak hanya itu, keinginan menikah pun sejatinya bakal surut di tengah resesi seks tersebut.

Mengutip ulasan dari McKinsey & Company, ciri-ciri resesi seks tersebut menjadi salah satu aspek dalam lonely economy, istilah yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup menyendiri.


Resesi seks tergambar jelas dari ukuran rumah tangga yang menyusut. Berikut ini sejumlah negara yang tengah mengalami resesi seks:

Amerika Serikat (AS)

Mckinsey mencatat ukuran rumah tangga di AS terus menyusut selama bertahun-tahun. Pada 1960, rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga sebanyak 3,33 orang. Pada 2021, angkanya turun menjadi 2,51 orang saja.

Analis Jake Novak dalam hasil penelitiannya yang dimuat di CNBC International, mengatakan 'resesi seks' terjadi di kalangan milenial di rentang usia 20-an hingga menjelang 40 tahun. Menurutnya, menurunnya tingkat seks dan pernikahan mengindikasikan bahwa kaum muda ingin menunda aspek-aspek "kedewasaan" lainnya.

Ini bisa berimbas ke sejumlah sektor lain di kehidupan seperti properti (membeli rumah) atau otomotif (membeli mobil).

China

Dalam pemberitaan media resmi China, Global Times, Biro Statistik Nasional China mengumumkan tingkat kelahiran pada tahun 2020 tercatat 8,52 per seribu orang.

Selain itu, badan resmi pemerintah itu mencatat bahwa tingkat pertumbuhan alami populasi menyumbang 1,45 per seribu. Ini merupakan nilai terendah dalam 43 tahun terakhir.

Tak ada alasan langsung mengapa angka kelahiran turun. Namun keengganan untuk menikah dan memiliki anak sendiri dimotori oleh kurangnya waktu dalam mengurus keluarga hingga biaya pernikahan dan beban ekonomi.

Pada Oktober lalu, Liga Pemuda Komunis China mengeluarkan publikasi yang mencatat hampir setengah atau 50% dari wanita muda yang tinggal di perkotaan negeri itu enggan menikah.

Jepang

Mengutip Reuters, ada 811.604 kelahiran di Jepang pada tahun lalu. Angka ini merupakan rekor terendah sejak 1899.

Di sisi lain, angka kematian naik menjadi 1.439.809 jiwa. Hal ini menyebabkan penurunan populasi hingga 628.205 jiwa.

Selain itu, tingkat kesuburan keseluruhan turun selama enam tahun berturut-turut, menjadi 1,3. Tingkat kesuburan keseluruhan ini sendiri menggambarkan jumlah rata-rata anak yang lahir dari seorang wanita seumur hidupnya.

Jepang sendiri merupakan negara yang mengalami penuaan tercepat di dunia. Dengan angka kelahiran yang rendah, Tokyo saat ini mulai mengandalkan pekerja dari luar negeri.

Korea Selatan

Di Korsel, fenomena resesi seks makin banyak dilakukan pasca munculnya sebuah kelompok feminis radikal yang mendukung hal tersebut. Kelompok itu bernama bernama '4B' atau 'Four No's'.

Menurut laporan kantor berita, Four No's sendiri merupakan kepanjangan dari 'no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing', yang artinya adalah tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak memiliki atau mengasuh anak.

Kelompok tersebut berisikan kumpulan wanita yang menolak sistem sosial patriarki yang kaku dan bersumpah untuk tidak menikah, punya anak, atau bahkan berkencan dan berhubungan seks.

Menurut data satu dekade lalu, hampir 47% wanita Korea yang lajang dan belum menikah mengatakan bahwa mereka menganggap pernikahan itu perlu. Namun sejak 2018, jumlahnya turun menjadi 22,4%.

Sementara itu, jumlah pasangan yang menikah merosot menjadi 257.600 pasangan saja, turun dari 434.900 pernikahan pada tahun 1996. Akibat hal ini, Korsel terancam menghadapi bencana demografis yang membumbung tinggi.

Saat ini, tingkat kesuburan total di Korsel turun menjadi 0,98 pada tahun 2018. Persentase ini jauh di bawah 2,1% yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil.

Pemerintah memperkirakan populasi Korsel yang saat ini di angka 55 juta, akan turun menjadi 39 juta pada tahun 2067. Pada tahun itu, setengah dari populasi negara tersebut akan berusia 62 tahun atau lebih.

Singapura

Berdasarkan data yang dirilis pada 2021, hanya ada 19.430 pernikahan yang terjadi antar warga Singapura pada 2020

Jumlah ini menurun 12,3% dari 22.165 pernikahan pada tahun sebelumnya. Ini merupakan angka terendah sejak tahun 1986, yakni 19.348 pernikahan.

Selain itu, kurang bersemangatnya para wanita melakukan hubungan seks menjadi penyebab fenomena ini. Dalam sebuah riset yang dilakukan Rumah Sakit Wanita dan Anak KK (KKH) Singapura akhir tahun lalu, disimpulkan bahwa 60% wanita Singapura yang disurvei mengalami 'resesi seks' karena memiliki fungsi seksual yang rendah.

Perkawinan yang langka dilakukan warga Singapura membuat negara itu mengalami tingkat kelahiran rendah.

Pada 2021, misalnya, angka kelahiran di negara tersebut hanya mencapai 1,12 bayi per wanita. Adapun, jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global yang berkisar di angka 2,3.

Kondisi ini lantas membuat pemerintah melakukan sejumlah upaya guna menggenjot tingkat perkawinan di Negeri Singa. Salah satunya dengan menawarkan insentif uang tunai 'bonus bayi' untuk menambah semangat warga negara tersebut memiliki anak.

Bahkan, Singapura berencana mengizinkan para wanita lajang untuk membekukan sel telurnya mulai tahun depan. Ini membuka kemungkinan bagi para wanita untuk hamil sekalipun saat tubuhnya tak lagi memproduksi sel telur.

Rusia

Indikasi resesi seks di Rusia terlihat dari krisis populasi yang tengah terjadi. Hal itu akhirnya membuat Presiden Rusia Vladimir Putin meluncurkan dekrit baru. Dia menghidupkan kembali penghargaan "Mother Heroine" era Uni Soviet untuk mengatasi krisis populasi yang sedang melanda negaranya saat ini.

Mother Heroine ditunjukkan untuk wanita yang memiliki lebih dari 10 anak. Tujuannya adalah dalam rangka meringankan krisis demografis Rusia.

Penghargaan itu sendiri diperkenalkan oleh Joseph Stalin setelah Perang Dunia II. Pada waktu itu, populasi di Uni Soviet menurun drastis mencapai puluhan juta.

Namun akhirnya Mother Heroine berhenti diselenggarakan saat Uni Soviet runtuh tahun 1991. Lebih dari 30 tahun berlalu, penghargaan kembali dihidupkan melalui pemerintah Putin.

"Sang ibu akan diberikan 1 juta Rubel (Rp 248 juta). Yakni saat anak ke-10nya berusia 1 tahun dan seluruh anaknya masih hidup," tulis CNN International.

Statistik Rosstat terbaru mengatakan populasi negara tersebut menyusut rata-rata 86 ribu orang per bulan hanya dalam periode bulan Januari hingga Mei.

Sementara itu perang dengan Ukraina juga berdampak pada Rusia. Kerugian besar akibat perang juga terjadi di antara pasukan di Ukraina, meskipun jumlah korban pastinya belum diungkapkan.


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: AS-Rusia Pimpin Nuklir Dunia, Asia Mulai Ngebut