Internasional

Xi Jinping Pening Resesi Seks, Apa Dampaknya untuk Ekonomi?

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
19 August 2022 09:25
A woman wearing mask cycles past gate with weathered Chinese New Year decorations in Beijing, Thursday, July 28, 2022. (AP Photo/Ng Han Guan)
Foto: AP/Ng Han Guan

Jakarta, CNBC Indonesia - China kali ini sedang dilanda fenomena resesi seks. Hal ini berarti angka perkawinan rendah yang memicu penurunan tingkat kelahiran.

Dalam pemberitaan media resmi China, Global Times, Biro Statistik Nasional China mengumumkan tingkat kelahiran pada tahun 2020 tercatat 8,52 per seribu orang.

Selain itu, badan resmi pemerintah itu mencatat bahwa tingkat pertumbuhan alami populasi menyumbang 1,45 per seribu. Ini merupakan nilai terendah dalam 43 tahun terakhir.

Tak ada alasan langsung mengapa angka kelahiran turun. Namun keengganan untuk menikah dan memiliki anak sendiri dimotori oleh kurangnya waktu dalam mengurus keluarga hingga biaya pernikahan dan beban ekonomi.

Pada Oktober lalu, Liga Pemuda Komunis China mengeluarkan publikasi yang mencatat hampir setengah atau 50% dari wanita muda yang tinggal di perkotaan negeri itu enggan menikah.

Fenomena ini pun rupanya juga memiliki dampak ekonomi. Mengutip ulasan dari McKinsey & Company, resesi seks dapat menghasilkan sebuah kondisi yang dinamakan lonely economy.

Lonely economy merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan kegiatan ekonomi yang didorong oleh masyarakat yang cenderung hidup menyendiri.

Bahkan, mengutip data Statista, rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga terus menyusut. Sebaliknya, rumah tangga berisi satu orang, atau yang melajang, makin banyak.

"Pergeseran demografis yang signifikan ini mengubah pola permintaan," tulis Mckinsey yang dikutip CNBC Indonesia.

Meningkatnya jumlah orang yang lebih memilih hidup sendiri telah mendorong penguatan fenomena hewan peliharaan. Kepemilikan hewan peliharaan tercatat melonjak di Asia, termasuk China.

Dalam 5 tahun terakhir, jumlah hewan peliharaan di China, Singapura, dan Thailand. Masing-masing melonjak 114%, 12%, dan 23%.

Tak hanya hewan, terjadi peningkatan penggunaan aplikasi seperti Chatbot yang digerakkan oleh kecerdasan buatan. Aplikasi ini kian populer dengan jumlah pengguna yang makin meningkat yang mayoritas merupakan lajang.

Selain itu, ada juga robot LOVOT dari perusahaan Jepang yang mampu menjaga suhu tubuhnya seperti manusia dan bisa meminta pelukan. Permintaannya meningkat hingga 15 kali lipat pada 2020 akibat pandemi dan efek dari lonely economy.

Pola konsumsi makanan juga diyakini berubah. Rumah tangga tunggal membutuhkan produk yang berbeda, termasuk makanan yang dikirim ke rumah dan porsi yang lebih kecil untuk makanan kemasan.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penduduk China Bakal Menyusut 50 Persen, Efek 'Resesi' Seks?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular