Batu Bara dan Investor Asing Bikin NPi Surplus Lagi!

Maesaroh, CNBC Indonesia
19 August 2022 13:25
Bongkar Muat Batu Bara
Foto: Pekerja melakukan bongkar muat batubara di Terminal Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (6/1/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) membukukan surplus sebesar US$ 2,39 miliar pada kuartal II-2022. Surplus ditopang oleh membaiknya kinerja transaksi berjalan serta kembalinya investor asing.

Surplus pada periode April-Juni tersebut juga membalikkan arah NPI yang semula mencatatkan defisit pada kuartal I-2022 sebesar US$ 1,82 miliar.

Transaksi berjalan mencatatkan surplus sebesar US$ 3,85 miliar pada kuartal II-2022 atau 1,14% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Catatan tersebut melonjak drastis dibandingkan kuartal I-2022 yang tercatat US$ 407 juta atau 0,13% dari PDB.

Kinerja transaksi berjalan pada kuartal II-2022 adalah yang terbaik sejak kuartal III-2021.  Melonjaknya surplus transaksi berjalan pada kuartal II juga menjadi anomali. Sebelum pandemi Covid-19, transaksi berjalan biasanya mencatatkan defisit yang sangat besar karena meningkatnya pembayaran dividen ke luar negeri.


Sebagai catatan, sepanjang kuartal IV-2011 hingga kuartal II-2020, transaksi berjalan Indonesia mencatatkan defisit. Padahal, pada periode tersebut masih ada booming commodity yang melambungkan ekspor. Kondisi transaksi berjalan mulai berubah pada 2020. Pada kuartal III-2020, transaksi berjalan mencatatkan surplus karena anjloknya impor seiring pelemahan ekonomi Indonesia.

Surplus besar pada transaksi berjalan pada kuarrtal II-2022 ditopang oleh ekspor barang. Lonjakan harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan minyak sawit mentah (CPO) membuat Indonesia mampu mencatatkan ekspor barang senilai US$ 75,17 miliar, naik signifikan dibandingkan kuartal I-2022 yang tercatat US$ 66,77 miliar.

Ekspor harga batu bara bahkan mencatatkan masih tetap bertahan tinggi hingga saat ini di tengah mulai melandainya harga komoditas lain.

Sementara itu impor barang naik menjadi US$ 58,37 miliar pada kuartal II-2022, dari US$ 55,47 miliar pada kuartal I-2022. Dengan demikian, pada neraca barang tercatat surplus sebesar US$ 16,81 miliar. Besarnya surplus pada ekspor barang tersebut mampu menutupi semakin melebarnya ekspor impor jasa dan pendapatan primer.

Pada perdagangan jasa, tercatat defisit sebesar US$ 4,97 miliar, lebih besar dibandingkan pada kuartal I-2022 yang tercatat US$ 4,38 miliar. Secara historis, Indonesia hampir selalu membukukan defisit pada neraca jasa karena masih menggunakan banyak tenaga kerja asing di sejumlah sektor, seperti transportasi.

Meningkatnya impor akan berdampak besar terhadap defisit pada neraca jasa karena bertambahnya pembayaran impor jasa (freight).
Defisit pada neraca tersebut kerap kali mengalahkan besarnya surplus neraca ekspor dan impor barang. Kondisi tersebut membuat transaksi berjalan membukukan defisit.

Membengkaknya defisit neraca jasa pada April-Juni sedikit tertutupi oleh pendapatan dari sektor pariwisata.

Defisit pendapatan primer juga melebar menjadi US$ 9,51 miliar pada April-Juni 2022, dari US$ 8 miliar pada Januari-Maret. Defisit melebar karena meningkatnya pembayaran pendapatan investasi baik investasi langsung atau portofolio, termasuk utang bunga.

"Peningkatan pembayaran pendapatan dari investasi didukung oleh solidnya kinerja korporasi sejalan dengan masih kuatnya ekspor, pertumbuhan ekonomi, dan skedul pembayaran dividen perusahaan," tulis Bank Indonesia.

Pembayaran pendapatan investasi kepada investor asing menembus US$ 6,8 miliar pada kuartal II-2022, naik 15,1% dibandingkan kuartal sebelumnya.

Sementara itu, pendapatan sekunder meningkat tipis menjadi US$1,52 miliar pada kuartal II-2022, dari US$ 1,49 miliar pada kuartal I-2022. Pendapatan sekunder ditopang penerimaan yang berasal dari Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Timur Tengah, dan Afrika.

Transaksi finansial menunjukkan perbaikan signifikan pada periode April-Juni. Bila pada kuartal I-2022, transaksi finansial mencatatkan defisit hingga US$ 2,13 miliar maka pada kuartal II-2022 angkanya mengecil menjadi US$ 1,09 miliar.

Pada investasi langsung, terjadi penurunan surplus yang signifikan dari US$ 4,37 miliar pada kuartal I-2022 menjadi US$ 3,06 pada kuartal II-2022.

Sementara investasi portofolio tercatat defisit sebesar US$ 424 juta pada kuartal II-2022, jauh lebih sedikit dibandingkan pada kuartal I-2022 yang tercatat defisit US$ 3,19 miliar.

Bank Indonesia menjelaskan menurunnya defisit pada investasi protofolio disebabkan oleh besarnya arus masuk (net inflow) pada sisi kewajiban dari investor asing. Pada kuartal II-2022 tercatat net inflow sebesar US$ 0,7 miliar sementara pada kuartal I-2022 tercatat arus keluar neto (net outflow) sebesar US$ 1,8 miliar.

Sementara itu, penduduk Indonesia tercatat melakukan pembelian surat berharga di luar negeri (net ouflow) sebesar US$ 1,2 miliar pada kuartal II-2022, lebih rendah dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang tercatat US$ 1,4 miliar.

Pada investasi portofolio, investor asing menjual obligasi pemerintah sebesar US$ 5,2 miliar pada kuartal II-2022, lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang tercatat US$ 2,9 miliar.

Aksi jual asing tersebut membuat kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN) rupiah berkurang menjadi 19,1% per Juni 2022, dari 20,9% per Maret 2022.

Namun, investor asing justru giat membeli instrument portofolio swasta. Terdapat net inflow sebesar US$ 2,6 miliar dari investor asing selama April-Juni pada instrument surat utang naik dibandingkan US$ 0,3 miliar pada kuartal sebelumnya.

Dana asing juga masih mengalir ke pasar saham. Selama kuartal II-2022, investor asing tercatat melalukan net buy sebesar US$ 1,8 miliar. Jumlah tersebut memang lebih rendah dibandingkan pada kuartal I-2022 yang tercatat US$ 2,1 miliar.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan transaksi berjalan rentan menyusut pada semester II-2022 karena meningkatnya impor sejalan dengan pemulihan ekonomi domestik.



"Harga komoditas juga kemungkinan akan melemah di tengah ancaman resesi global. Kondisi ini akan menekan ekspor. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat akan meningkatkan impor," tutur Faisal, kepada dalam MacroBrief.

Bank Mandiri memperkirakan transaksi berjalan akan mencatatkan surplus tipis 0,03% dari PDB pada tahun ini. Transaksi financial diperkirakan semakin melebar meskipun inflow masih akan terjadi.

"Risiko akan datang dari terganggunya rantai pasok global dan tekanan inflasi. Ini bisa membuat terjadinya pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di tingkat global sehingga emerging market rawan dengan capital outflow," tutur Faisal.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular