
Mampukah Eropa Hidup Tanpa Gas dan Minyak Rusia? Ini Faktanya

Jakarta, CNBC Indonesia - Memanasnya tensi antara Eropa dan Rusia membuat Benua Biru berencana untuk membatasi dan kemudian menghentikan pasokan gas dan minyak dari Negeri Beruang Putih ke wilayahnya. Hal ini dikarenakan keyakinan bahwa hasil penjualan migas Rusia digunakan untuk mendanai perang di Ukraina.
Langkah ini sendiri justru diprediksi membawa katalis yang buruk bagi Benua Biru. Apalagi, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) menggantungkan 40% kebutuhan gasnya dari Moskow. Adapun, negara yang paling banyak mengkonsumsi gas Rusia adalah Jerman diikuti Italia.
Pembatasan pasokan migas ini pun kemudian menyeret Eropa dalam kemungkinan resesi. Di Jerman, yang merupakan ekonomi terbesar Benua Biru, kepercayaan para pelaku usaha pun mulai turun dengan kekhawatiran bahwa negara itu akan mengalami krisis energi pasca pemutusan aliran gas dari Rusia.
"Angka-angka pesimistis menunjukkan bahwa Jerman berada di puncak resesi. Suasana di antara bisnis telah mendingin secara signifikan sementara harga energi yang lebih tinggi dan ancaman kekurangan gas membebani ekonomi," kata presiden lembaga riset Ifo, Clemens Fuest, dikutip AFP.
Rusia sendiri memang baru-baru ini sempat memotong pasokan gas ke Eropa yang melalui pipa Nord Stream I. Moskow menyebut langkah ini diambil akibat terlambatnya pengembalian turbin pipa itu setelah diperbaiki di Kanada akibat sanksi yang diterapkan UE dan negara Amerika Utara.
Meski begitu, Jerman dan Italia menuding itu sebagai tipuan dan pemotongan pasokan gas merupakan langkah balas dendam Rusia atas sikap UE mendukung Ukraina,
Selain gas, kepanikan terkait pasokan minyak Rusia juga mulai muncul di Eropa Tengah. Pasalnya, kebutuhan minyak wilayah itu sangat bergantung dari pasokan Rusia dari pipa minyak Druzbha yang melalui Ukraina. Pipa ini pun saat ini ditutup oleh Ukraina dengan alasan pembayaran yang tak lancar.
Penutupan pipa Druzhba ini pun berdampak pada negara-negara Eropa yang terkunci daratan seperti Slovakia, Republik Ceko, dan Hungaria yang cukup bergantung dari pasokan pipa minyak asal Rusia. Dalam data Statista, Slovakia bahkan menggantungkan hingga 78,4% kebutuhan minyaknya dari Moskow pada tahun 2020 lalu.
Perusahaan energi Hungaria MOL dan operator pipa Ceko MERO pun juga mulai mengkonfirmasi hal ini. MOL mengatakan memiliki cadangan selama beberapa minggu dan sedang mencari solusi tentang kemungkinan pembayaran biaya transit dari pihaknya kepada Ukraina.
Menurut para trader, pemutusan ini pun akan sangat berdampak negatif bagi negara-negara itu. Pasalnya dengan diputusnya pipa Druzhba, negara-negara daratan ini akan sangat bergantung pada pasokan minyak yang didistribusikan via jalur laut.
"Fakta bahwa penyulingan harus mengimpor minyak seaborne dalam waktu sesingkat itu akan membuat pekerjaan untuk mengamankan pasokan alternatif semakin sulit di pasar minyak yang sudah ketat," kata para trader seperti dilansir Reuters, baru-baru ini.
"Rusia biasanya memasok sekitar 250.000 barel per hari (bph) melalui jalur selatan pipa Druzhba. Jika pasokan tetap ditangguhkan, eksportir minyak Rusia harus mengalihkan volume ke pelabuhan laut," tambah mereka.
Meski begitu, Rusia juga disebutkan mengalami kerugian dari pembatasan Eropa ini. Para ekonom dari Universitas Yale, Jeffrey Sonnenfeld, Steven Tian, dan Michal Wyrebkowski mengatakan negara pimpinan Presiden Vladimir Putin itu telah mengalami kerugian yang cukup besar.
Bahkan, mereka mengatakan kerugian ini tak mampu lagi ditopang oleh perdagangan dengan negara-negara Asia. Hal ini diakibatkan pemotongan Rusia dari akses keuangan internasional
"Itu jelas merupakan dampak jangka menengah hingga panjang, kita harus mempertimbangkan bahwa Putin masih memiliki cadangan mata uang asing, tetapi dia telah membakarnya pada tingkat yang mencengangkan," kata Wyrebkowski kepada media Inggris ,Express, pada awal bulan ini.
"Setengah dari cadangan, bernilai sekitar US$ 300 miliar, pada dasarnya dibekukan oleh Barat, dan sejak awal perang, Putin pada dasarnya telah menghabiskan sekitar US$ 75 miliar selama konflik dengan Ukraina," lanjutnya.
"Jika kita berbicara tentang skala waktu dua, tiga atau empat tahun, kita bisa melihat runtuhnya minyak dan gas, itu pasti akan berdampak pada kemampuan Rusia untuk melancarkan aksi militer di Ukraina."
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hanya 10% Warga Eropa Yakin Ukraina Bisa Menang Lawan Rusia, Kok Bisa?
