Jakarta, CNBC Indonesia - US Bureau of Labour Statistics melaporkan inflasi Amerika Serikat (AS) pada Juli 2022 berada di 8,5% year-on-year (yoy). Angka ini tercatat masih tinggi, tetapi jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 9,1% atau tertinggi dalam lebih dari 40 tahun terakhir.
Inflasi energi juga menunjukkan perlambatan, meski masih di level tinggi. Harga bensin masih naik 44% yoy, melambat dibandingkan Juni 2022 yang melonjak 59,9% yoy. Sementara harga gas alam naik 30,5% yoy, turun dibandingkan Juni 2022 yakni 38,4% yoy.
Angka inflasi ini diakui jauh di bawah ekspektasi meski harga pangan masih mengalami peningkatan. Harga bahan makanan naik 1,3% di bulan Juli dari bulan sebelumnya dan naik 13,1% di bulan Juli dari tahun lalu, laju tahunan tercepat sejak 1979.
Ini akan menjadi sebuah 'berkah' bagi rumah tangga karena harga bensin turun, namun di sisi lain masih merasakan 'sakit' dari sisi makanan.
Inflasi yang meningkat adalah produk sampingan dari pertumbuhan yang cepat ketika AS pulih dari pandemi Covid-19, sebagian didorong oleh suku bunga yang lebih rendah dan stimulus pemerintah.
Sebelumnya, AS mengalami inflasi cukup parah. Ini juga mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga pada akhir bulan lalu. Fenomena itu terjadi karena supply chain disruption. Di mana recovery sisi demand jauh lebih cepat daripada sisi supply, sisi supply-nya tertinggal.
Selain itu, adanya ketegangan geopolitik perang Rusia-Ukraina turut memperparah kondisi inflasi yang terjadi saat ini. Sebab terjadi lonjakan komoditas pangan dan energi di mana kedua negara itu menjadi produsen terbesar dunia.
Perlambatan laju inflasi membuat pasar makin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan sedikit mengerem laju pengetatan moneter yang selama ini kenaikan suku bunga acuan yang agresif digunakan untuk meredam inflasi yang meninggi.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mempertimbangkan laporan tersebut bersamaan dengan data ekonomi penting lainnya menjelang pertemuan selanjutnya di September.
"Perlambatan pada IHK Juli 2022 tampaknya merupakan bantuan besar bagi The Fed, terutama karena mereka menilai inflasi akan bersifat sementara. Namun, hal tersebut tidak benar...tapi jika kita melihat angka inflasi yang terus menurun, The Fed mungkin akan mulai memperlambat laju pengetatan moneter," tutur Pendiri Quadratic Capital Management Nancy Davis dikutip CNBC International.
Saat ini pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin (bps) ke 2,75-3% dalam rapat bulan depan. Mengutip CME FedWatch, kemungkinannya 57,5%. So, bukan lagi naik 75 bps apalagi 100 bps.
Inflasi terjadi di setiap negara, baik maju maupun berkembang. Gejala ekonomi ini tidak dapat dihilangkan. Karena itu, upaya-upaya yang dilakukan hanya sebatas mengurangi dan mengendalikan nilainya.
Dampak pertama, dari kenaikan harga minyak dunia. AS merupakan konsumen minyak terbesar di dunia. Saat ekonomi AS bergeliat, maka permintaan energi akan naik. Jadi wajar saja harga minyak ikut terungkit.
Pasca rilis data inflasi AS yang mulai melandai, harga minyak dunia langsung melesat. Ini merupakan sinyal negatif terutama bagi Indonesia. Artinya, harga bahan bakar minyak (BBM) akan ikut melonjak.
Diketahui, beberapa waktu lalu pemerintah memberikan pernyataan dan memastikan harga bahan bakar minyak (BBM), terutama yang bersubsidi pemerintah tidak akan mengalami kenaikan sampai akhir tahun 2022 ini. Apalagi saat ini harga minyak mentah dunia berangsur mengalami penurunan di bawah level US$ 100 per barel.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, subsidi dan kompensasi untuk energi yang mencapai Rp 502,4 triliun dipastikan akan menahan kenaikan harga hingga akhir tahun.
Inflasi yang mulai melandai kembali memberikan sinyal bagi AS bahwa mulai melangkah melewati masa-masa sulit. Alhasil, kekhawatiran terjadinya resesi akan mulai berkurang sehingga permintaan energi akan mulai meningkat seiring dengan perbaikan kondisi tersebut.
Dampak kedua, dari mata uang Tanah Air. Inflasi yang dinilai masih meninggi sulit mengangkat dolar AS. Akibatnya, Rupiah berhasil menguat. Kondisi ini tentunya juga menjadi katalis positif bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Tanah Air.
Kabar inflasi yang lebih rendah dari perkiraan tersebut membuat indeks saham Wall Street menguat tajam semalam.
Indeks Dow Jones naik 1,63% sedangkan S&P 500 dan Nasdaq Composite melesat 2,13% dan 2,89% di saat yang sama.
Kenaikan tajam indeks saham Wall Street juga menjadi katalis positif untuk pasar saham Asia pagi ini. Mayoritas indeks saham bursa regional juga bergerak di zona hijau.
Indeks Hang Seng memimpin penguatan dengan apresiasi 1% lebih dan disusul oleh IHSG yang naik 0,7%.
Ketiga, Perlambatan laju inflasi membuat pasar makin yakin bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan sedikit mengerem laju pengetatan moneter. Sebab, selama ini kenaikan suku bunga acuan yang agresif dilakukan atas nama 'perang' melawan inflasi.
Kondisi yang sama terjadi di Indonesia, saat The Fed dinilai bisa mengerem laju pengetatan moneter, akan juga memberikan sinyal bahwa BI tetap akan menahan suku bunga acuan Tanah Air karena inflasi juga masih terjaga.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengemukakan cara pemerintah menjaga laju inflasi nasional agar tidak memicu kenaikan harga barang. Sehingga daya beli masyarakat terjaga dan ekonomi nasional bisa to the moon.
Berbicara dalam dialog Economic Update 2022, Suahasil mengemukakan sampai saat ini angka inflasi masih relatif terkendali di angka 4,9%, apalagi jika dibandingkan negara-negara tetangga yang mencatatkan inflasi yang lebih tinggi.
Suahasil mengemukakan beberapa negara lainnya memang terdampak dengan kenaikan harga komoditas di sektor energi. Namun bagi Indonesia, ada beberapa komponen energi yang harganya masih diatur oleh pemerintah seperti tarif listrik, LPG, hingga harga bahan bakar minyak (BBM).
Keempat, jika inflasi AS masih meninggi akan berpengaruh terhadap kinerja ekspor untuk tujuan AS. Ekspor akan terganggu seiring dengan turunnya daya beli atau konsumsi rumah tangga, sehingga mempengaruhi permintaan barang-barang yang ada di Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA