
Ada 'Kode' Baru dari BI Nih! Bunga Acuan Masih Ditahan...?

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan ekonomi Indonesia belum pulih sepenuhnya. Lonjakan inflasi yang tinggi tidak hanya mengancam pertumbuhan ekonomi domestik tetapi juga berdampak kepada kehidupan sosial masyarakat.
Perry juga mengingatkan jika masyarakat Indonesia, terutama kelompok menengah ke bawah, tidak boleh dibiarkan menanggung beban lonjakan inflasi sendirian. Seluruh pihak termasuk BI harus mengurangi beban tersebut.
Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Juli menembus 0,64 % (month on month/MoM). Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi pada Juni terbang ke angka 4,94%. Catatan tersebut adalah yang tertinggi sejak Oktober 2015.
BPS juga mencatat Inflasi kelompok volatile goods, termasuk pangan, menembus 11,47% (yoy) atau tertinggi sejak Januari 2014 (11,91%).
"Rakyat baru semego. Baru bisa makan enak dan travelling setelah Ramadan karena Covid-19. Ini sudah sehat, sedang semego, sedang enak-enaknya makan tetapi belum pulih benar," tutur Perry pada Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan, Rabu (10/8/2022).
Perry menambahkan daya beli masyarakat yang baru pulih bisa terancam karena tingginya inflasi kelompok volatile. Menurutnya, rata-rata inflasi pangan berkontribusi terhadap 20% dari komposisi pengeluaran masyarakat. Namun, untuk kelompok masyarakat bawah bisa mencapai 40-60%. BI pun berkomitmen untuk menurunkan inflasi kelompok volatile hingga ke kisaran 5-6% agar daya beli masyarakat terjaga.
"Masalah pangan ini masalah perut. Ini bukan masalah ekonomi saja, dampak sosialnya sangat besar. Jangan sampai Oktober ke sana ada masalah politik. (Saat perang) Atau terjadi gejolak yang paling penting itu ketahanan perut dan energi. Kalau rakyat sengsara jangan dibiarkan sendiri, ojo disonggo dhewe," tegas Perry.
Pernyataan Perry hari ini terkait pentingnya menjaga pertumbuhan menegaskan ucapannya pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu. Pada saat itu, Perry mengatakan keputusan BI menahan suku bunga demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik.
Perry pada saat itu juga menambahkan pertumbuhan domestik juga tengah terancam dengan laju inflasi yang sangat kencang.
"Keputusan suku bunga BI-7DRR didasarkan assessment dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, perkiraan inflasi ke depan khususnya inflasi inti dan implikasinya pada pertumbuhan ekonomi," tutur Perry, dalam konferensi pers, Kamis (21/7/2022).
Suku bunga acuan sebesar 3,5% sudah bertahan sejak Februari 2021 atau sudah bertahan selama 18 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Ramal Inflasi 'Tahun Politik' 2024 Bisa 1,5%-3,5%
