Anak Buah Sri Mulyani Pantau Ketat AS, Was-was Kena Getahnya!

News - Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
08 August 2022 18:40
Apakah ada RI? Ini 6 Negara-Wilayah yang Kena  Resesi Tahun Depan Foto: Infografis/Apakah ada RI? Ini 6 Negara-Wilayah yang Kena Resesi Tahun Depan/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengungkapkan akan terus memantau pergerakan ekonomi global, terutama di Amerika Serikat (AS) yang saat ini bank sentralnya sudah sangat agresif menyentuh menaikan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) ke level 2,25% hingga 2,5%.

Kepala BKF Febrio Kacaribu menjelaskan, bank sentral di banyak negara saat ini haus merespon kenaikan harga atau inflasi di negaranya dengan menaikan suku bunga kebijakan bank sentral.

Di Indonesia saat ini dengan tingkat inflasi sudah menyentuh 4,94% (year on year/yoy) pada Juli 2022, namun suku bunga acuan Bank Indonesia masih dipertahankan pada level 3,5%. Febrio menilai hal ini masih cukup terkendali dibandingkan negara maju dan berkembang yang lain.

"Di Brasil misalnya, inflasi sudah cukup tinggi dan harus direspon dengan suku bunga kebijakan. Meksiko inflasi 8% dan direspon dengan menaikan suku bunga. Demikian juga dengan India, dengan inflasi 7% yang direspon suku bunga yang masih terbatas," jelas Febrio dalam taklimat media, Senin (8/8/2022).

Begitu juga di Negeri Paman Sam, AS yang saat ini inflasinya telah menyentuh 9,1% dengan tingkat suku bunga acuan telah naik empat kali sepanjang tahun ini sebesar 225 basis point, ke level 2,25% hingga 2,5%.

"Ini menjadi pelajaran dan harus kita pantau ketat. Karena kalau AS menaikan suku bunga yang tinggi, tajam, dan cepat biasanya akan menimbulkan gejolak di dunia terutama di negara berkembang," jelas Febrio.

Secara historis, tekanan inflasi tinggi di AS direspons dengan kenaikan suku bunga acuan yang juga tinggi. Bahkan, kemungkinan akan diikuti dengan kontraksi balance sheet The Fed yang akan menyebabkan pengetatan likuiditas lebih dalam lagi.

Jika menengok ke belakang, pada 1980-an, tingkat suku bunga AS pernah sampai 20% untuk merespon tingkat inflasi saat ini. Namun, dalam waktu tiga tahun, inflasi baru berhasil diturunkan ke tingkat 2%.

Saat itu resesi terjadi dua kali di AS dan pertumbuhan cukup lambat di tahun-tahun tersebut. Koreksi-koreksi seperti ini biasanya menimbulkan gejolak di dunia, terutama di negara berkembang.

Oleh karena itu, menurut Febrio negara berkembang harus meresponnya dengan cepat, namun tak jarang menimbulkan krisis.

"Koreksi-koreksi ini biasanya menimbulkan krisis di negara berkembang. Pada 1982 terjadi debt crisis, kemudian pada 1985 Mexican crisis, 1997 Asian Financial Crisis, dan sebagainya," jelas Febrio.

"Ini yang kita selalu pantau dan perekonomian Indonesia masih resilience dan masih terjaga saat ini, dan beberapa kuartal ke depan," kata Febrio melanjutkan.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Terungkap! Ada Andil China Dalam Resesi AS & Eropa


(cap/mij)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading