
DMO Batu Bara Wajib Ditepati, Jangan Penuhi Orang Luar Dulu!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak ingin kejadian krisis pasokan batu bara yang sempat menimpa sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PT PLN (Persero) terulang.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan sejauh ini pihaknya belum mendapat laporan dari PLN terkait tersendatnya pemenuhan batu bara dari para pemasok. Namun demikian, Dirjen Minerba Kementerian ESDM sebenarnya sudah menerbitkan penugasan ke perusahaan tambang untuk berkontrak dengan PLN.
"Yang penting itu, DMO ditepati kalau enggak ya gak boleh ekspor. Sudah selesai kita gak mau mengulangi yang terjadi di tahun lalu, konyol. Satu sisi kita punya batu bara, satu sisi kita butuh listrik kenapa harus memenuhi orang luar dulu?" kata Rida saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Kamis (4/8/2022)
Untuk diketahui, PLN masih kesulitan dalam memperoleh pasokan batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Hal tersebut terjadi seiring dengan kenaikan harga komoditas batu bara di pasar internasional.
EVP Batubara PLN Sapto Aji Nugroho menjelaskan perang Rusia-Ukraina telah mendorong lonjakan harga komoditas energi primer. Bahkan, harga batu bara di bursa ICE Newcastle sempat tembus ke level US$ 440 per ton.
Kenaikan harga batu bara tersebut membuat para penambang lebih memilih opsi ekspor.
Peningkatan harga pasar ini juga berdampak pada peningkatan biaya produksi dan lainnya yang membebani pemasok untuk menyuplai batu bara ke dalam negeri. Ini terjadi karena tuntutan lapangan, dimana biaya disamakan untuk penjualan ke pasar ekspor. Sementara harga jual ke PLN sudah diatur menjadi US$ 70 per ton.
Di sisi lain, pemasok mengalami kesulitan mendapatkan sewa truk, slot jetty, mencari tongkang/vessel yang harus bersaing dengan keperluan ekspor, dimana keperluan ekspor mampu membayar lebih tinggi daripada untuk penjualan ke dalam negeri.
"Harga yang ditetapkan pemerintah untuk kelistrikan mengacu ke HBA US$ 70 sedangkan pupuk/semen mengacu ke HBA US$ 90, sedangkan smelter harga pasar membuat suplai ke PLN menjadi pilihan akhir," kata dia dalam Diskusi Publik BLU Batubara, Selasa (2/1/2022).
Selain itu, perbedaan harga penalti dan kompensasi yang besar sesuai kepmen ESDM 13/2022 membuat pemasok memilih tidak mau berkontrak dengan PLN. Dengan kurangnya pemasok yang akan berkontrak, hal ini tentunya membuat PLN kesulitan mendapatkan pasokan batu bara.
Adapun bagi pemasok yang memiliki spesifikasi kebutuhan dalam negeri akan membuat kontrak atau mendapat penugasan dari Dirjen Minerba untuk berkontrak dengan PLN, sementara pemasok yang spesifikasinya diluar spesifikasi dalam negeri hanya akan membayar kompensasi yang nilainya sangat kecil jika dibandingkan besaran penalti jika tidak memenuhi kontrak.
"Sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi pemasok," katanya.
Kemudian, berlarutnya pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) sebagai pemungut iuran batu bara membuat kondisi banyak pemasok mencoba menahan pasokan ke PLN. Mereka lebih memilih menunggu munculnya BLU Batu bara.
Perusahaan setrum pelat merah ini sendiri saat ini memang mendapat bantuan penugasan dari Dirjen Minerba, namun demikian, hal ini bersifat sementara. Sapto pun berharap bahwa BLU batu bara dapat segera diimplementasikan. Utamanya sebagai solusi atas disparitas harga yang menjadi akar permasalahan pasokan batu bara untuk kelistrikan nasional.
"PLN tetap membayar harga sesuai HBA US$ 70 per ton dan sisanya yakni selisih antara harga pasar dikurangi HBA US$ 70 per ton dibayarkan langsung oleh BLU kepada para penambang," katanya.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Stok Batu Bara PLN di Level 20 Hari, Amankah?