Harga Ikan Kaleng Ikutan Naik, Ini Biang Keroknya
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri pengalengan ikan kini tertekan dengan mahalnya bahan baku, kenaikannya hampir mencapai 50%. Ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki), Hendri Sutandinata menilai pelaku usaha pun harus berputar otak demi melakukan efisiensi, baik dari ongkos produksi maupun biaya lainnya.
Pantauan CNBC Indonesia di salah satu minimarket di Ciapus Kabupaten Bogor terlihat ada penyesuaian harga pada awal bulan Agustus ini.
Sebagai contoh, ABC Sardines jenis tomat dan ekstra pedas ukuran 425 gram kini ada di harga Rp 23.500. Sebelumnya masih di kisaran Rp 20.000 hingga Rp 21.000. Sementara merk Maya Sarden kini menjadi Rp 10.600 untuk ukuran 155 gram.
"Sama dengan industri makanan lain, kita dalam kondisi susah dalam arti harga bahan baku naik banyak, tetapi harga jual nggak bisa naik terlalu banyak karena daya beli lemah. Kenaikan bahan baku sampai 50%, minim-minim 25-50%," kata Hendri kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (3/8/22).
Kondisi makin sulit karena pasokan dalam negeri tidak bisa diandalkan saat ini. Kalaupun ada, harganya pun tergolong tinggi. Alhasil, demi tetap bisa menjalankan produksi maka dengan cara impor.
"Bahan baku dari ikan dulu misal harga Rp 7.000/kg, sekarang jadi Rp 12.000/kg. Kita harus impor harganya dari US$ 400 per metrik ton untuk ikan lembu sarden, sekarang US$ 700, ditambah kenaikan biaya freight juga," ujar Hendri.
Pelaku usaha mau tidak mau menaikkan harga produk jadinya yang dijual ke masyarakat. Namun, kenaikannya pun tidak bisa langsung signifikan.
"Kita mesti liat, kalau bisa diserap kenaikan harganya. Sebagian ada stok lama, tapi jika stok lama nggak ada, barang naik ini nggak kembali turun, mau nggak mau dinaikkan min 10-20% lagi," ujarnya.
Akibat kenaikan harga yang semakin tinggi, permintaan ikan kaleng di masyarakat pun berkurang. Pabrikan merespons dengan mengurangi kapasitas produksi.
"Sekarang banyak yang menurunkan kapasitas produksi karena ikan sekarang harganya mahal, sedangkan ada beberapa segmen kelas menengah bawah nggak bisa serap dengan harga mahal. Jadi mereka mengurangi kapasitas produksi mereka, bisa sampai 50%," ujar Hendri.
Demi menyerap produknya, mereka juga berharap pemerintah bisa kembali menggelar program bantuan sosial dengan penyertaan sarden.
"Kami berharap ikan kaleng kembali bisa dimasukkan dalam bantuan sosial seperti awal pandemi. Belakangan sudah tiada, adanya minyak dan beras. Dengan pemberian produk-produk kaleng karena ikan kaleng praktis, nggak perlu penyimpanan khusus, tahan lama, tiga tahun dan bernutrisi tinggi dan harga relatif nggak terlalu mahal," ujar Hendri.
Persoalan yang yang tengah menghadang, katanya terbatasnya pasokan bahan baku maupun produksi ikan lemuru (sarden lokal) dari kawasan Bali, NTB, NTT, dan Madura pun kian menipis sehingga harus mengandalkan dari impor. Hanya saja, pasokan impor pun terbatas.
"Untuk dalam negeri tahun-tahun ini sangat sulit, jadi kita nggak bisa mengandalkan dalam negeri, jadi harus impor. Negara asal impor pun makin lama berkurang, dulu dari China, India, Pakistan, Jepang, Oman, sekarang pada mahal semua," kata Hendri.
"India udah nggak ada, dari China hampir nggak ada. Paling Pakistan dan Jepang, itu pun agak berkurang jumlahnya. Pengurangan 50% lah kira-kira," pungkasnya.
(dce)