Saat Pengusaha Lokal Kesal Gara-gara Tekstil Impor Banjir

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
28 July 2022 15:55
Pengunjung berbelanja di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (6/1/2022). Pengelola Blok A Pasar Tanah Abang Jakarta Heri Supriyatna mengatakan pasarnya sudah mulai menggeliat dan terdapat peningkatan transaksi dagang sejak awal Desember 2021 sebesar 75-80 persen jika dibandingkan pada Desember 2020, karena dipengaruhi pelonggaran kebijakan PPKM serta momen mendekati bulan Ramadhan dan Lebaran tahun 2022. Dilokasi menurut Zaki (37) yang berjualan di Blok B Lt. Los F
Foto:Ilustrasi tekstil (6/1/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Produk tekstil dan turunannya terus membanjiri pasar dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kain terbesar selama 2021 berasal dari China, nilainya hampir setengah dari total impor di dalam negeri yakni mencapai 48,87%.

Posisi kedua ada Korea Selatan 12,99 persen, Vietnam 9,98 persen, Hong Kong 9,45 persen, Taiwan 7,03 persen, serta Malaysia 5,58 persen. Kalangan pengusaha mengungkapkan bahwa kondisi itu tidak lepas dari adanya intervensi importir.

"Importir-importir ini maksa, kaya nggak punya rasa kebangsaan. Saya tahu persis importir garmen, importir kain, dia maksa minta izin impor, dia bilang demand ada. Ya demand garmen, kain akan selalu ada, tapi mau isi dari mana? Lokal apa impor?" kata Ketua Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita Wirawasta kepada CNBC Indonesia, Kamis (28/7/2022).

Dalam regulasi baru dari Kementerian Perdagangan, Angka Pengenal Importir Umum (API-U) diberikan untuk memenuhi bahan baku industri kecil menengah (IKM). Redma menilai aturan ini menjadi kendala. 

"Di kuartal II sudah ada kenaikan impor karena API-U. Tapi ketemu pak Zulkifli sudah bersedia menutup API-U, PR secara regulasi selesai, tumpuan utama di pelabuhan, saya lihat masih bocor," katanya.

Banjir impor tekstil dari negara lain bisa semakin besar karena Indonesia kini tengah menjalani persetujuan dagang preferensial Indonesia-Bangladesh (Indonesia-Bangladesh preferential trade agreement/IB-PTA).

Redma mengungkapkan ada indikasi salah satu poin dalam perjanjian dagang tersebut bisa mengorbankan industri tekstil. Ia sudah menjalani komunikasi dengan Direktur Jenderal Perunding Perdagangan Internasional. Namun, pembicaraannya masih alot karena industri tekstil enggan menjadi korban.

"Kalau banjir impor gini-gini. Tapi itu bukan wewenang Dirjen itu, tapi wewenang Dirjen Kementerian lain. Sama dengan China (beberapa tahun lalu) tahu-tahu, kita mau safeguard susah banget. Jadi nggak sinkron kementerian satu dan lain. Satu ngasih janji, satu lagi nggak mau," sebut Redma.

"Kalau ada kepentingan nasional yg kita mesti tanda tangan Indonesia-Bangladesh PTA kita dukung, tapi kita nggak mau tekstil jadi korban," lanjutnya.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Barang Impor Banjir, Ini Harapan Bos Tekstil Dari Zulkifli

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular