Industri RI Tak Cuma Tertekan Dolar, Ini Ancaman Lainnya

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
25 July 2022 20:05
Pedagang beraktivitas di salah satu gerai kain di Pasar Mayestik, Jakarta, Rabu (11/11/2020). Pasar dalam negeri kembali dibanjiri oleh produk impor baik dalam bentuk kain maupun pakaian jadi di tengah lesunya industri domestik. Sengkarut industri tekstil terkait masalah impor masih belum berkesudahan. Saat ini ada tarik-tarikan kepentingan antara pelaku usaha industri soal mekanisme impor bahan baku yang efeknya bisa berbeda dari masing-masing industri hulu dan hilir. mengutip berita CNBC Indonesia pada 10 November, Kementerian Perdagangan dikabarkan bakal merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) mengenai aturan main importasi tekstil. Hal ini tidak lepas dari dorongan industri dalam negeri yang meminta adanya perubahan regulasi dari aturan-aturan yang lama. Maklum, beberapa revisi Permendag yang mengatur impor sejak tahun 2015 dinilai selalu pro barang impor. Pantauan CNBC Indonesia salah satu pemilik toko mengatakan bahwa bahan yang ia beli Grosiran di Bandung, Tasik dan sekitarnya. Namun tidak diketahui dari Mama bahan dasar tekstil itu berasal. Kalangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) termasuk di sektor hulu seperti benang masih mengeluhkan adanya gangguan produk impor. Masih ada persoalan tak harmoninya kebijakan sehingga ada industri yang kena dampak.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pedagang beraktivitas di salah satu gerai kain di Pasar Mayestik, Jakarta, Rabu (11/11/2020). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri tekstil ikut terkena dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), salah satunya ialah mahalnya biaya produksi karena bahan baku yang banyak didapat dari dolar seperti kapas impor. Namun, kekhawatiran pelaku usaha bukan hanya biaya produksi melainkan adanya serangan impor dari negara lain.

"Yang kita khawatir adalah pelemahan daya beli masyarakat Indonesia dan derasnya produk impor menyerang market Indonesia yang daya belinya masih lebih baik di bandingkan Negara lain," kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja kepada CNBC Indonesia, Senin (25/7/22).

Beberapa negara tersebut dikenal sebagai produsen besar industri tekstil dan produk tekstil (TPT), yakni Bangladesh, Vietnam hingga China. Jemmy menilai produksi dari negara tersebut bisa mengarah ke negara selain Amerika Serikat dan Eropa yang kini sedang lemah daya belinya. Pasalnya, AS dan Eropa mengalami inflasi tinggi dan rendahnya daya beli.

"Negara PengeksporĀ TPT seperti China, Bangladesh & Vietnam akan berusaha untuk menyerang atau menjual produknya ke negara yang lemah dalam menggunakan Non Tarif Barrier," ujar Jemmy.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyebut negara-negara produsen sudah menjadikan Indonesia sebagai target sasaran yang potensi pasar.

"China India Bangladesh yang punya sasaran ekspor. Negara-negara itu dia ngga bisa berhenti produksi. Jadi Indonesia yang negara sangat besar berpotensi dibanjiri karena daya beli kita lumayan pulih, pasar besar, barrier minim," ujarnya.

Untuk itu, pemerintah perlu sigap mengawasi masuknya produk impor ke pasar dalam negeri. Salah satu keran pintu masuk terbesar berasal dari pelabuhan.

"Masih ada impor borongan under-volume, under invoice masih terjadi, hindari pajak gampang, prosedur pelabuhan lemah. itu yang buat jadi target utama mereka. PRnya nggak selesai-selesai, di pelabuhan gimana pengawasan itu," ujar Redma.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Ngamuk, Ternyata Pabrik Ini yang Duluan Remuk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular