Sri Lanka Terperangkap Kebangkrutan, Apa Solusi Dari PBB?

Thea Fathanah, CNBC Indonesia
Kamis, 14/07/2022 14:30 WIB
Foto: Suasana di Sri Lanka (AP/Rafiq Maqbool)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sri Lanka kini sedang menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.

Perdana Menteri (PM) baru Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe, mengakui negara itu mengalami kebangkrutan. Ia pun telah mengatakan kepada parlemen bahwa krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya akan bertahan hingga setidaknya akhir tahun depan.

Sri Lanka tercatat tidak dapat membayar kembali utang luar negerinya sebesar US$51 miliar atau sekitar Rp766 triliun, dengan sekitar US$6,5 miliar (Rp97,6 triliun) di antaranya terutang ke China. Pemerintah menyatakan gagal bayar pada April dan sedang bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kemungkinan bailout.



Tak hanya krisis ekonomi, krisis kemanusiaan pun tak terelakkan. Kini sekolah-sekolah ditutup karena kekurangan bahan bakar untuk membawa anak-anak dan guru ke ruang kelas.

Negara kepulauan berpenduduk 22 juta orang itu telah mengalami pemadaman selama berbulan-bulan. Warga juga harus merasakan kekurangan pangan dan bahan bakar yang akut, serta inflasi yang melonjak ke rekor paling menyakitkan yang dicatat sejarah negeri itu.

Terbaru, per Rabu (13/7/2022), Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat nasional. Ini setelah beberapa jam Presiden Gotabaya Rajapaksa pergi meninggalkan negara itu ke Maladewa. Ia diperkirakan akan melanjutkan 'pelariannya' ke negara lain, yakni Singapura.

Rajapaksa kabur sesaat sebelum demonstran menyerbu kompleks rumahnya. Ia dan keluarganya dibawa ke lokasi yang dirahasiakan.

Rekaman dari dalam kediaman menunjukkan pengunjuk rasa yang gembira melompat ke kolam dan menjelajahi kamar tidurnya dan ruangan lain di rumahnya yang megah.

Kepala Debt & Development Finance Branch di Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) Stephanie Blankenburg mengatakan situasi Sri Lanka saat ini salah satunya dipicu akibat kreditor swasta yang mengambil mengambil keuntungan lebih tinggi. Namun, ketika risikonya muncul, mayoritas dari mereka tidak bisa membayar kerugiannya.

"Jadi kita harus menangani ketakutan global tersebut di kerangka kerja bersama saat ini," kata Blankenburg dalam acara Advancing Debt and Economic Justice Through G20 Dialogue di Nusa Dua Beach Hotel and Spa, Bali, Kamis (14/7/2022). Acara ini merupakan side event dari The G20 Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG).

"Jadi di masa depan kita harus mengadopsi hal tersebut, dan arsitektur global untuk memandatkan kreditor-kreditor swasta ini untuk bisa mengaplikasikan upaya yang kompatibel dengan karakter G20 di masa depan, yang sedang kita usahakan bersama dalam permasalahan dengan kreditor swatsa yang sedang berkembang ini," lanjutnya.

Keputusan ini, kata Blankenburg, harus diambil untuk mengurangi eksploitasi para kreditor swasta.

"Misalnya mengurangi kemampuan untuk pendanaan yang lebih tinggi, jadi pemerintah yang tidak mau merevitalisasi utangnya tidak akan terbebani," imbuhnya.

Menurut Blankenburg, sejak 1975, banyak negara mengatakan restrukturisasi utang perlu waktu 10-15 tahun karena penanganan dari pemberi utang swasta. Seiring waktu, hal ini menjadi sulit seperti yang Sri Lanka alami saat ini.

"Kreditor swasta harus mengikuti peraturan yang ada. Mereka bisa mengambil risiko yang bisa disesuaikan, sehingga tidak mempersulit semua orang," katanya.



(miq/miq)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Parlemen Iran Sepakat Keluar dari Badan Nuklir PBB