Inflasi AS 'Meledak', Otomotif RI Terancam?
Jakarta, CNBC Indonesia - Tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) di bulan Juni 2022 semakin panas. Secara tahunan, indeks harga konsumen AS melambung hingga 9,1%, tertinggi sejak November 1981.
Hal ini memicu kekhawatiran kondisi ekonomi di Indonesia. Terutama di sektor riil.
Karena itu, Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi mengatakan, Bank Indonesia (BI) diharapkan segera menaikkan suku bunga acuan langsung 50 basis poin (bps) ke 4%.
"Urgensinya harus menaikkan di RDG berikutnya," kata Samuel kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (14/7/2022).
Bank Indonesia dijadwalkan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 Juli nanti.
Dia menjelaskan, penaikan suku bunga memang akan memukul laju pertumbuhan kredit perbankan. Dan, berdampak menekan industri otomotif dan properti di dalam negeri.
"Tapi, kalau BI menunda lagi, yang pasti jadi korban adalah rupiah. Bisa tembus Rp15.500 atau skenario yang lebih buruk Rp16.000," kata Lionel.
"Ekspor jadi terbantu, tapi impor babak belur. Jadi cost bahan baku serta spare parts mesin bisa naik kalau dibiarkan. Selain itu, cadangan devisa bisa tergerus dengan cepat," tambah Lionel.
Seperti diketahui, Indonesia masih mengimpor sejumlah bahan baku untuk kebutuhan industri manufaktur juga konsumsi di dalam negeri. Seperti bahan baku plastik untuk otomotif dan properti, gandum, bahan baku obat, bahkan tekstil.
Hanya saja, imbuh dia, tidak selamanya penguatan dolar AS akan menguntungkan ekspor Indonesia.
"Saya kira kalau sudah menyentuh Rp16.000, cost untuk ekspor bisa memburuk," ujarnya.
Dia mengakui, adanya dilema. Yaitu, di antara pilihan menaikkan suku bunga BI segera meski harus mengorbankan perbankan yang akan memukul sektor properti dan otomotif.
"Atau mengorbankan kestabilan nilai tukar? Menurut saya menjaga kestabilan nilai tukar tidak terhindarkan lagi karena The Fed akan semakin agresif menaikkan suku bunga. Dari sisi ekonomi pasti ada dampak perlambatan, tapi tidak akan sampai membuat sektor riil terpuruk," jelasnya.
Dia memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi RI akan berada di rentang 4,3-4,5%.
"Penopangnya adalah sektor jasa yang didorong pelonggaran PPKM," katanya.
Lionel mengatakan, dengan menjaga rupiah, akan dapat juga menolong belanja atau konsumsi jasa sehingga bisa menopang ekonomi domestik.
"Sampai sektor industri mencari keseimbangan baru dengan efek kebijakan Bank Indonesia, dengan syarat tak ada lagi lockdown atau PPKM level 2 ke atas," ujarnya.
Pada saat bersamaan, kata Lionel, pemerintah harus menggelontorkan berbagai kemudahan memacu ekspor. Ditambah, mempersiapkan ekonomi masyarakat miskin dan rentan miskin dengan subsidi.
(dce/dce)