
Babi Bikin China Kena "Gempa" Inflasi, Awas RI Kena Getahnya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi terus menjadi perhatian dunia, beberapa negara yang sebelumnya masih adem ayem kini sudah mulai merasakan dampaknya. China, negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia dan mitra dagang utama Indonesia kini mengalami kenaikan inflasi yang tajam.
Biro Statistik Nasional China pada Sabtu (9/7/2022) melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Juni tumbuh 2,5% year-on-year (yoy) dari bulan sebelumnya 2,1% (yoy). Inflasi Juni tersebut merupakan yang tertinggi dalam 2 tahun terakhir.
Kenaikan harga daging babi menjadi salah satu penyebab naiknya inflasi. Belakangan harga babi di China memang mengalami kemerosotan tajam. Tetapi bulan lalu mulai kembali menanjak.
Data menunjukkan harga daging babi naik 2,9% month-to-month (mtm). Meski demikian dibandingkan Juni tahun lalu tercatat masih menurun 6% (yoy), tetapi jauh lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang merosot hingga 21,1% (yoy).
China mirip dengan Indonesia, inflasinya masih belum terlalu tinggi dibandingkan dengan Negara Barat. Kenaikan inflasi juga dipicu oleh volatile food.
Inflasi inti China, yang tidak memasukkan volatile food, hanya tumbuh 1% (yoy) saja pada Juni, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,9% (yoy).
Namun, jika China terus mengalami kenaikan inflasi, Indonesia juga bisa terkena dampaknya. China merupakan mitra strategis Indonesia, nilai ekspor-impor sangat besar.
Ketika inflasi di China naik, maka harga produk impor bisa ikut mengalami kenaikan. Alhasil, ada akan imported inflation di dalam negeri yang bisa membuat inflasi semakin tinggi.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor Indonesia dari China pada Januari - Mei mencapai US$ 20,6 miliar, melesat 26,3% dari periode yang sama 2021. Nilai impor tersebut berkontribusi lebih dari 32% dari total impor.
Bisa dibayangkan, jika harga impor dari China mengalami kenaikan, maka inflasi di dalam negeri tentunya juga akan terkerek naik.
Ada pun impor utama dari China yakni mesin (HS 84) yang nilainya mencapai US$ 9,5 miliar di tahun 2021, selanjunya ada peralatan listrik (HS 85), nilainya sebesar US$ 9,3 miliar.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi RI Bakal Makin Tinggi
Badan Pusat Statistik (BPS)di awal bulan ini melaporkan inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%
Secara tahunan (yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan sebesar 0,44%. Sedangkan inflasi tahunan 'diramal' 4,15%.
Kenaikan inflasi tersebut juga lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 4,17%, tetapi jika dilihat inflasi inti justru lebih rendah.
BPS melaporkan inflasi inti tumbuh 2,63% (yoy) dari sebelumnya 2,58% (yoy), sementara konsensus di Trading Economics memperkirakan sebesar 2,72% (yoy).
Seperti China, kenaikan kelompok volatile menjadi pemicu inflasi menanjak di Indonesia.
Inflasi kelompok volatile yang menembus 2,51% (mtm) dan 10,07% (yoy) Juni lalu. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014 atau 7,5 tahun terakhir. Jika dilihat lagi inflasi volatile meroket di item bahan makanan yang mencapai 2,3% (mtm) dan 9,57% (yoy).
Inflasi Indonesia diperkirakan belum akan mereda pada paruh kedua tahun ini. Pemulihan ekonomi dalam negeri akan mendorong sisi permintaan sehingga tekanan inflasi, terutama inflasi inti akan meningkat.
Kepala BPS Margo Yuwono mengingatkan pemerintah juga akan menaikkan tarif dasar listrik untuk kalangan menengah ke atas mulai Juli sehingga inflasi pada kelompok harga diatur pemerintah bisa merangkak naik. Indonesia juga akan mengawali musim ajaran baru pada Juli-Agustus yang bisa mendongkrak inflasi.
Data BPS juga menunjukkan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk komoditas impor dan berbahan baku impor mengalami peningkatan yang persisten. Termasuk di dalamnya adalah tepung terigu dan bubuk urea. IHPB industri mencapai 0,37% (mtm) dan 5,39 (yoy), IHPB pada pertanian 1,96% (mtm) dan 2,95% (yoy).
"Dampak dari pembatasan ekspor (sejumlah negara) sudah mulai sampai ke kita tetapi masih pada level perdagangan besar. Belum sampai ke konsumen," tutur Margo.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Xi Jinping Perintahkan Pemda China Borong Babi, Ada Apa?