Sri Mulyani: Orang Indonesia Bakal Makin Susah Beli Rumah

Redaksi, CNBC Indonesia
Jumat, 08/07/2022 09:40 WIB
Foto: Infografis/ APBN 2022/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren kenaikan suku bunga acuan secara global sebagai imbas lonjakan inflasi akan berdampak terhadap masyarakat Indonesia. Khususnya bagi masyarakat yang ingin memiliki rumah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, inflasi tinggi akan mendorong kenaikan suku bunga acuan. Hal ini akan diikuti oleh semakin tingginya bunga perbankan. Sehingga masyarakat harus menguras kantong lebih dalam untuk mendapatkan rumah.


"Untuk membeli rumah 15 tahun mencicil di awal berat, suku bunga dulu, prinsipalnya di belakang. Itu karena dengan harga rumah tersebut dan interest rate sekarang harus diwaspadai karena cenderung naik dengan inflasi tinggi. Maka masyarakat akan semakin sulit untuk membeli rumah," ujar Sri Mulyani dalam Acara Securitization Summit 2022, di Jakarta, Rabu (6/7/2022).

Seperti diketahui, suku bunga acuan di beberapa negara mulai mengalami kenaikan, sejalan dengan meningkatnya inflasi, yang pada akhirnya akan berdampak terhadap tingginya suku bunga di sektor perumahan.

Sri Mulyani mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk membangun policy framework atau kerangka kebijakan dan mengembangkan aturan hingga instrumen dalam membangun ekosistem pembiayaan perumahan di Indonesia.

"Bank Indonesia dalam hal ini dapat melakukan melalui policy makroprudential-nya yaitu dengan menurunkan risiko dari Aset Tertimbang Menurut Risiko atau ATMR-nya untuk sektor perumahan dan melonggarkan loan to value," ungkapnya.

"Tujuannya adalah agar lebih banyak yang berani mendanai sektor perumahan karena risikonya diturunkan bobotnya oleh bank sentral kita di dalam prudential frame- nya. Kerja sama yang erat dengan bank sentral melalui makroprudensial, OJK melalui mikroprudensial, dan Kementerian Keuangan dari sisi instrumen keuangan negara maupun dengan industri dan peran para investor itu menjadi sangat penting," terang Sri Mulyani.

Dengan begitu persoalan masyarakat yang kesulitan mendapatkan rumah bisa teratasi. Hanya saja produk sekuritisasi yang diciptakan harus tetap bertanggung jawab, di mana underlying-nya harus tetap sound, risk management harus tetap baik dan juga transparan.

"Kita dapat belajar dari kegagalan Amerika Serikat pada tahun 2008-2009 di mana asset backed security-nya mereka nggak tahu lagi apa aset yang ada di dalam security nya itu dan bahkan mereka tidak bisa mengetahui berapa risiko dari aset tersebut. Ini ekstrem yaitu excessive securitization dengan risk framework yang sangat mungkin tinggi, kita berharap Indonesia belajar dari hal tersebut," katanya mencontohkan.

Sri Mulyani menuturkan bahwa sekuritisasi pada dasarnya adalah bagaimana sebuah aset KPR yang jangka panjang 15 tahun akan dicicil oleh pemiliknya, dan itu menjadi underlying asset yang bisa di issued sebuah surat berharga baru yang kemudian dijual di secondary market yang disebut Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP).

"Aset di sini yaitu mortgage bukan rumahnya, namun cicilan tiap bulannya itu yang kemudian bisa di-package dan dibentuk dalam bentuk security baru surat berharga baru yang kemudian bisa dibeli oleh investor. Kemudian, investor bisa meng-assess beberapa risikonya dan rate of return dia bisa menciptakan likuiditas baru bagi penerbit EBA-SP yang kemudian dia bisa meng-create mortgate baru lagi. Hal itu keinginan untuk mengejar kebutuhan yang begitu besar, 12 juta backlog sementara kemampuan kita untuk menggunakan APBN saja tidak akan bisa mengejar secara cepat," katanya.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Menteri Ara : Sektor Perumahan Tak Butuh Utang Luar Negeri