
Rumah Makin Mahal & Awas Ada Ancaman Subprime Morgate di RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Tren kenaikan suku bunga acuan serta mahalnya harga membuat masyarakat Indonesia semakin sulit membeli rumah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengatakan terobosan pembiayaan kredit rumah perlu dilakukan untuk mempermudah pembelian rumah. Salah satunya adalah dengan melakukan sekuritisasi terhadap cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Sekuritisasi tersebut kemudian dijadikan underlying asset atau dasar transaksi dalam penerbitan surat berharga yang dijualbelikan dalam pasar sekunder.
"Untuk membeli rumah 15 tahun mencicil di awal berat, suku bunga dulu, prinsipalnya di belakang. Itu karena dengan harga rumah tersebut dan interest rate sekarang harus diwaspadai karena cenderung naik dengan inflasi tinggi," jelas Sri Mulyani dalam Acara Securitization Summit 2022, di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Dalam keterangan Kementerian Keuangan, Sri Mulyani mencontohkan bagaimana aset KPR bisa dijadikan underlying asset untuk penerbitan surat berharga yang kemudian dijual dipasar sekunder disebut Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP).
"Aset di sini yaitu mortgage bukan rumahnya, namun cicilan tiap bulannya itu yang kemudian bisa di-package dan dibentuk dalam bentuk security baru surat berharga baru yang kemudian bisa dibeli oleh investor," tutur Sri Mulyani.
Dia menambahkan investor kemudian bisa meng-assess beberapa risikonya dan rate of return dan menciptakan likuiditas baru bagi penerbit EBA-SP.
"Kemudian dia bisa meng-create mortgate baru lagi," imbuhnya.
Menanggapi ide Sri Mulyani, ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan ada risiko yang mengintip dari penerbitan surat berharga dengan underlying asset KPR.
"Tentunya ini bukan tanpa risiko. Surat utang yg diperjualbelikan atau sekuritisasi itu punya risiko spill over kalo ada satu bagian dari rantainya yang default," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.
Irman menjelaskan risiko bisa ditekan dengan membatasi underlying pada KPR prime. Pasalnya, kelompok tersebut memiliki risiko default lebih kecil sehingga risiko sistemiknya bisa ditekan.
"Selama segmen pasarnya adalah yang prime artinya yang mampu membayar dan punya history kredit baik seharusnya risikonya bisa diminimalisir. Kalau di Amerika Serikat (AS) itu karena dia sekuritisasi segmen yang sub-prime sehingga risikonya tinggi," imbuh Irman.