
DPR Ramai-ramai Pertanyakan soal Kelas Standar BPJS Kesehatan

Jakarta, CNBC Indonesia - Implementasi penerapan BPJS Kesehatan kelas standar mendapat kritik dan masukan dari para anggota Komisi IX DPR. Mereka meminta agar otoritas untuk hati-hati dan mempertimbangkannya dengan matang dalam menerapkan layanan kesehatan ini.
Pasalnya dari pemaparan yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, serta salah satu anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperlihatkan masih belum siap untuk menerapkan BPJS Kesehatan kelas Standar ini.
Terlebih kata Ali, berdasarkan survei yang ditanyakan kepada lebih dari 2.000 orang peserta BPJS Kesehatan, mengaku belum siap jika rawat inap di rumah sakit distandarisasi menjadi satu kelas.
Peserta Kelas 1 BPJS Kesehatan, kata Ali 69% menyatakan menolak jika mendapatkan layanan kesehatan dengan rawat inap kelas standar, begitu juga dengan Kelas 2, dan 3 yang tidak siap jika kelas rawat inap kelas standar diimplementasikan.
"Kelas 3 kalau kita tanya, iurannya naik, kelasnya naik. Mereka jawab nggak mau, mereka tetap dengan Kelas 3 dengan iuran sekian. Itu survei dengan lebih dari 2.000 orang (peserta BPJS Kesehatan)," jelas Ali dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR.
Seperti diketahui, sebagai uji coba penerapan rawat inap BPJS Kesehatan Kelas Standar akan dilakukan di lima rumah sakit vertikal milik pemerintah.
Kelima rumah sakit tersebut di antaranya RSUP Kariadi Semarang, RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, RSUP Surakarta, dan RSUP Dr. Rial Abdullah Palembang.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi IX DPR Fraksi Gerindra Sri Mellyana ikut berkomentar.
"Ini belum selaras dengan apa yang dicita-citakan Kementerian Kesehatan, diharapkan BPJS Kesehatan sebagai pelaksana jaminan kesehatan, harus bicara koordinasi lebih lanjut dengan bahasa yang sudah sama. Semakin mendengar kesini, bahasanya makin tidak sama," jelas Mellyana.
Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Komisi IX DPR Darul Siska. Menurutnya, visi BPJS Kesehatan kini tidak selaras dengan visi Kementerian Kesehatan yang ingin memperbaiki sistem kesehatan dengan pelayanan yang lebih baik dan terjangkau oleh masyarakat.
"Sebagai operator (BPJS Kesehatan) kok meragukan itu? Kalau dibicarakan sekarang tidak siap, kita tidak akan pernah siap. Ini amanah undang-undang sudah dari tahun 2004. Perlu koordinasi yang lebih matang lagi," ujar Darul.
"Jika mendengarkan peta jalan KRIS, seolah-olah rumah sakit sudah siap dari persepsi DJSN dan Kementerian Kesehatan. BPJS Kesehatan sebagai implementator, apakah betul semua rumah sakit sebanyak 2.939 di Indonesia siap melaksanakan KRIS sepenuhnya di tahun 2024?," timpal anggota Komisi IX DPR Linda Megawati.
Begitu juga disampaikan oleh anggota Komisi IX DPR lainnya yakni Netty Prasetiyani. Netty mengungkapkan penerapan BPJS Kelas Standar yang tertuang di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus dikritisi dan dicermati dengan baik.
"Artinya kalau hanya mendengarkan para mitra (Kementerian Kesehatan, DJSN, dan BPJS Kesehatan) too good to be true. Implementasinya betapa sulit mewujudkan mimpi mengantarkan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas dari kesehatan," jelas Netty.
Anggota Komisi IX DPR Dewi Asmara mengungkapkan, dalam menerapkan implementasi KDK dan KRIS ini harus melihat keseluruhan sistem, bukan hanya infrastruktur dan sumber daya manusia.
Karena, dari tinjauan di lapangan, kata Dewi masih banyak rumah sakit, dengan implementasi 60% tempat tidur untuk peserta JKN di rumah sakit pemerintah dan 40% tempat tidur untuk peserta JKN di rumah sakit swasta, yang sampai saat ini kekurangan tempat tidur.
"Jangan sampai implementasi KRIS menurunkan kualitas pelayanan JKN. Contoh dari dua rumah sakit yang diujicobakan saat ini, kekurangan tempat tidur dan memperpanjang proses antri dan kerugian," jelas Dewi.
"Kalau di RSUP Kariadi Semarang untuk uji coba kekurangan 77 tempat tidur, juga di RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon yang masih kekurangan 16 tempat tidur. Padahal antrian untuk meminta tempat tidur sekitar ratusan lebih, kalau berkurang 77 akan bertambah antriannya," kata Dewi melanjutkan.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article DPR & Menkes Rapat 9 Jam Bahas BPJS Kesehatan, Ini Hasilnya!