Tolong, Pak Jokowi! Harga Sembako Makin 'Gila'...

Maesaroh, CNBC Indonesia
01 July 2022 16:04
Pedagang memotong cabai merah keritinh yang dijual di kawasan Pasar Pondok Gede, Jakarta, Rabu (29/6/2022). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pedagang memotong cabai merah keritinh yang dijual di kawasan Pasar Pondok Gede, Jakarta, Rabu (29/6/2022). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi kelompok harga bergejolak atau volatile goods terus merangkak naik pada tahun ini. Laju inflasi harga bergejolak juga melawan pola historisnya di mana inflasi kelompok tersebut melandai di pertengahan tahun atau pasca lebaran.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi kelompok volatile menembus 2,51% (month to month/mtm) dan 10,07% (year on year/yoy). Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014 atau 7,5 tahun terakhir. 

Pada periode tersebut inflasi volatile goods mencapai 3,53% (mtm) dan 10,88% (yoy). Level inflasi kelompok harga bergejolak juga jauh di atas target Bank Indonesia (BI) dan pemerintah yakni di kisaran 4-5%.


Melonjaknya inflasi harga bergejolak tidak bisa dilepaskan dari kenaikan sejumlah bahan pangan dan bumbu-bumbuan mulai dari cabai merah, cabai rawit, bawang merah, telur ayam ras, tomat, kangkung, kol putih/kubis, cabai hijau, dan sawi putih/pecay/pitsai, gula, kedelai, hingga tepung terigu.

Cabai merah menyumbang inflasi sebesar 0,24% sementara cabai rawit sebesar 0,10%. Sumbangan inflasi bawang merah mencapai 0,08%, telur ayam ras sebesar 0,04%, dan tomat sebesar 0,03%.

Lonjakan inflasi harga bergejolak hingga Juni tersebut melawan pola historisnya. Biasanya inflasi harga bergejolak melesat pada Desember hingga Januari.
Pada periode tersebut, Indonesia biasanya tengah menghadapi puncak musim hujan. 
Curah hujan yang tinggi biasanya akan merusak hasil tanaman hingga mengganggu distribusi pangan sehingga harga bahan makanan melonjak.

Inflasi harga pangan biasanya juga akan melonjak tajam saat terjadi bencana alam atau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Permintaan musiman yang tinggi membuat kelompok bergejolak rawan terkena inflasi tinggi.

Namun, kelompok harga pangan biasanya akan menurun drastis atau bahkan mengalami deflasi karena menurunnya permintaan.


Pola tidak sama terjadi pada tahun ini. Silih berganti sejumlah bahan makanan melonjak drastis bahkan sejak akhir 2021.

Harga minyak goreng melesat sejak November 2021 hingga April 2022. Kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar internasional serta gonta-ganti kebijakan terkait CPO membuat harga minyak goreng melesat. Minyak goreng bahkan sempat langka pada Februari setelah pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET).

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), minyak goreng curah masih dijual Rp 15.500 per kg pada Oktober 2021. Harganya terus melonjak hingga Rp 20.000 per kg di awal April tetapi kemudian turun menjadi Rp 17.450 per kg pada Juni 2022.



Belum usai persoalan minyak goreng, harga cabai juga melonjak tajam. Harga cabai rawit merah hanya di kisaran Rp 48.000 pada awal Februari 2022 tetapi kemudian menjulang menjelang Lebaran. Setelah Lebaran, harganya tidak kunjung turun bahkan menembus Rp 90.000 lebih sejak akhir Juni.

Berdasarkan PIHPSN, harga cabai rawit melonjak 53% dari Rp 62.450/kg per 31 Mei menjadi Rp 95.300/kg pada Kamis (30/6/2022).



Di sebagian besar wilayah Indonesia bagian timur, harga cabai rawit bahkan menembus Rp 130.000 per kg. Harga cabai rawit termahal tercatat di Provinsi Kalimantan Timur yakni Rp 138.000 per kg.

Harga telur ayam meningkat menjadi Rp 29.100 per kg pada akhir Juni dari Rp 28.650 per kg akhir Mei. Harga bawang merah naik 40% dari Rp 42.900 per kg pada akhir Mei menjadi Rp 60.250 per kg pada akhir Juni.


Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono mengatakan lonjakan inflasi pangan disebabkan persoalan cuaca. Musim hujan yang masih berlangsung hingga Juni membuat pasokan cabai merosot sehingga harganya semakin  pedas.

Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengingatkan tekanan inflasi dari kelompok bahan pangan masih akan meningkat pada semester kedua tahun ini.

"Inflasi pada kelompok bahan pangan sangat rentan untuk naik  karena ada isu keamanan pangan di tingkat global. Ini akan mendorong cost push inflation," tutur Andry dalam laporan Macro Brief.

Sebelumnya, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daniel Johan mengingatkan harga pangan masih rawan mengalami lonjakan karena melambungnya harga pupuk .

"Yang paling mengkhawatirkan itu harga pupuk. Ini dampaknya sangat serius kepada petani. Saat ini kita belum merasakan karena stok pangan yang ada adalah hasil panen sebelumnya. Dengan harga pupuk yang sekarang mahal, hasil panen kemudian juga akan mahal," tutur Daniel Johan, dalam Profit , CNBC Indonesia (Selasa, 21/06/2022).

Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira juga mengingatkan imported inflation akan membuat sejumlah harga pangan melonjak, mulai dari gandum, susu, daging, hingga tempe.


"Ada anomali ya. Biasanya pasca Lebaran, harga-harga akan turun terutama dari kelompok volatile. Sekarang harga kelompok masih volatile, masih tinggi. Perang membuat logistik mahal sehingga biaya impor membengkak, harga pun naik," tutur Bhima, kepada CNBC Indonesia.

Bhima juga mengingatkan kenaikan jagung akan diteruskan kepada pakan ternak serta produk poultry seperti telur dan daging ayam. "Imbasnya akan langsung kepada konsumen. Kalau pakan ternak naik maka harga telur akan naik juga," imbuhnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Wanti-wanti Krisis Pangan eh Harga Sembako Menggila

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular