Negeri K-Pop Diserang Lunch-Flation, Apa Itu?

Maesaroh, CNBC Indonesia
Kamis, 30/06/2022 16:50 WIB
Foto: Markus Winkler/Pexels

Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan inflasi mulai menggerogoti kemapanan pekerja. Kenaikan harga, terutama makanan, membuat sebagian pekerja di berbagai belahan dunia mulai menanggalkan kebiasaan lama makan mewahnya dan beralih kepada menu yang lebih sederhana.

Dampak perang Rusia-Ukraina tidak hanya dirasakan warga Ukraina. Ratusan juta warga dunia pun harus memikul beban berat akibat perang Rusia-Ukraina dalam bentuk lonjakan inflasi.

Perang bahkan sudah berdampak kepada menu pekerja di Korea Selatan hingga Inggris. Inflasi yang melambung tinggi membuat mereka harus mengganti menu atau bahkan menghilangkan menu makan siang. Istilah lunch-flation pun kini menjadi muncul, laju inflasi yang sudah mempengaruhi makan siang mereka.


Lunch-flation menjadi gambaran bagaimana harga makanan favorit masyarakat Korea Selatan telah melambung. Di antaranya "galbitang" (sup rebusan tulang iga sapi dengan nasi) yang harganya melonjak 12,2% dan "nengmyun" (mie dingin) yang naik 8,1%.

Park Mi-won, 63 tahun, adalah satu dari ribuan pekerja di kota Seoul yang terpaksa mengganti menu makan siangnya karena tidak kuat mengikuti kencangnya laju inflasi.

Inflasi Korea melambung 5,4% (year on year/yoy) pada Mei tahun ini, yang merupakan rekor tertinginya dalam 14 tahun. Loncatan inflasi salah satunya disebabkan oleh harga pangan yang terus merangkak naik.


Sebelumnya, Park Mi-won terbiasa makan siang dengan menu buffet di restoran. Namun, kebiasaan tersebut kini sulit dilakukan karena harga menu buffet favoritnya kini melonjak hingga 10% menjadi 9.000 won atau sekitar Rp 104.300 (US$1= Rp 14.900).  Park kini memilih pergi ke convenience store atau toko serba ada yang menyediakan makanan lebih murah.

"Setelah harga naik, saya memilih pergi ke toko serba ada. Saya pikir harganya lebih masuk akal, rasanya juga enak. Jadi sekarang saya membeli makan di sana tiga kali dalam seminggu," tutur Park, seperti dikutip Reuters.

Perang membuat harga pangan melesat tajam karena berkurangnya pasokan, terganggunya rantai pasok, hingga melonjaknya harga pupuk. Akumulasi tersebut ini membuat menu makanan di seluruh dunia terdampak mulai dari gimbab di Korea Selatan hingga mie instan di Indonesia.

Makin banyaknya pekerja yang beralih membeli makanan di convenience store membuat jaringan toko-toko tersebut kini makin populer dan jadi pilihan banyak orang. Mereka menyediakan makanan yang lebih murah, mulai dari mie instan, sandwich, hingga "gimbap" (nasi gulung) dengan harga di bawah US$ 5 atau Rp Rp 74.500.

Perubahan gaya hidup pekerja Korea menjadi rejeki bagi convenience store. Penjualan jaringan toko serba ada GS25 terdongkrak 30% pada Januari-Mei 2022 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Untuk menyikapi besarnya antusias pekerja, GS25 meluncurkan menu makan khusus pekerja kantoran. Menu tersebut akan disertai diskon dan bisa diantar langsung ke kantor mereka.

Keuntungan serupa juga diperoleh jaringan CU dan 7-Eleven di mana penjualan mereka naik tajam. Jaringan toko serba ada Emart24 membukukan 50% kenaikan pada penjualan lunch-box di titik-titik perkantoran.

Toko serba ada sebenarnya tidak kebal terhadap kenaikan harga. Namun, harga makanan mereka yang lebih murah dibandingkan restoran membuat mereka tetap jadi pilihan banyak orang.

Berdasarkan dara Badan Konsumen Korea, rata-rata harga Naengmyeon (mie sup gandum yang disajikan dengan kuah kaldu sapi lengkap dengan irisan daging, mentimun, dan sayuran) harganya sudah di atas 10.000 won ( Rp 110.500) di sekitar ibu kota Seoul. Bandingkan dengan harga mie ramen yang masih dijual di kisaran 1.000 won atau Rp 11.500.

Hitungan bank sentral Korea memperkirakan setiap kenaikan 1% dari produk makanan impor akan menambah inflasi hingga 0,36% dan 0,14% kepada harga makanan di restoran.

"Harga bahan makanan makin mahal karena itu saya harus menaikkan harga makanan yang saya jual. Namun, saya tidak boleh hanya memikirkan keuntungan, saya juga harus memikirkan kantong pekerja yang mulai menipis," tutur Lee Sang-jae, pemilik restoran galbitang di Seoul.

Survei yang dilakukan Incruit, perusahaan yang bergerak di bidang SDM, menunjukkan 96% dari 1.004 pekerja Korea Selatan mengatakan anggaran makan siang kini menjadi beban. Sebagian dari mereka kemudian memilih memangkas pengeluaran makan siangnya.

Bagi pekerja Korea Selatan, makan siang adalah "ritual suci". Makan siang tidak hanya menjadi sarana memuaskan perut tetapi juga menjadi kesempatan bagi mereka untuk ngobrol dan berbagi cerita bersama kolega. Sayangnya "ritual suci" tersebut kinia harus dipangkas atau ditiadakan.

"Makan di convenience store lebih murah dibandingkan di restoran tetapi hal negatifnya kita tidak bisa makan siang bersama," tutur Ku Dong-hyun.

Beralihnya menu makanan pekerja Korea Selatan menjadi contoh kecil bagaimana inflasi telah menggerogoti pengeluaran semua kalangan. Lee Seung-hoon, ekonom dari Meritz Securities, mengingatkan jika kondisi tersebut terus menerus berlangsung maka konsumsi rumah tangga akan melemah dan pertumbuhan akan melambat.

"Daya beli mulai melemah di tengah tekanan inflasi yang sangat kuat," tuturnya.


(mae/mae)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Inflasi Inggris Betah di Level Tinggi Pada Mei 2025

Pages