Tahan Harga BBM, 'Penyakit' Baru Bakal Muncul di Negara Ini

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
Rabu, 29/06/2022 13:45 WIB
Foto: Warga mengisi bensin di Kawasan SPBU Kuningan Rasuna Said, Jakarta, Selasa, 28/Juni/2022. PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga berencana mengatur pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Khusus Penugasan (JBKP) seperti Pertalite dan juga BBM Solar Subsidi. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan subsidi untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dianggap akan memunculkan masalah baru di tanah air. Sebab telah merusak mekanisme pasar.

Hal ini diungkapkan oleh ekonom senior Faisal Basri dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, dikutip Rabu (29/6/2022). Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan harus segera mengambil sikap.


"Percayalah kalau pasar ini dirusak mekanismenya akan menimbulkan penyakit baru," ujarnya.

Salah satunya adalah kelangkaan barang. Pemerintah dapat berkaca pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di mana sering kali ditemukan penyelundupan ke negara tetangga karena perbedaan harga yang jauh.

Contoh lainnya terlihat dalam persoalan minyak goreng. Ketika pemerintah mengambil kebijakan subsidi, maka stok minyak goreng hilang di pasaran. Subsidi dicabut, barang seketika langsung berserakan.

"Entah itu membawa rombongan beli Pertalite lantas dijual di tempat lain. Jadi ada dua tiga harga itu bahaya sekali," terang Faisal.

Foto: BKF Kemenkeu (Dok. BKF Kemenkeu)
BKF Kemenkeu (Dok. BKF Kemenkeu)

Kebijakan subsidi juga tidak tepat sasaran. Seperti yang diakui oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Nathan Kacaribu, sebanyak 60% masyarakat golongan mampu menikmati hampir 80% dari total konsumsi BBM bersubsidi atau 33,3 liter per rumah tangga per bulan.

Sisanya, yaitu 40% masyarakat golongan miskin hanya menikmati konsumsi BBM bersubsidi sebanyak 17,1 liter per rumah tangga per bulan.

Radhika Rao, Senior Economist DBS Group Research memandang beberapa risiko apabila harga energi terus ditahan. Salah satunya lonjakan defisit anggaran.

"Harga bahan bakar mungkin sebagian perlu disesuaikan pada Juni/3Q22. Dengan asumsi penyesuaian sebagian harga bahan bakar, defisit fiskal 2022 kemungkinan akan menyempit menjadi -4,5% dari PDB vs yang ditargetkan -4,85%," ujarnya.

Foto: Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)
Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)

Pemerintah juga bisa fokus dalam mendorong roda perekonomian melalui belanja yang lebih produktif. Menurut Radhika, sekarang adalah momentum yang tepat dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan inflasi dipastikan terjadi pasca kenaikan harga BBM. Apabila ada kenaikan harga 10% maka inflasi bisa menjadi 4,2-4,3% dan 25%, mendekati 5,5%. Maka dari itu respons selanjutnya akan datang dari Bank Indonesia (BI) untuk meredam inflasi.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Kemnaker Terbitkan Aturan Penyaluran Subsidi Upah Rp 600 Ribu