
Mohon Maaf, Pakistan... Badai Belum Berlalu

Pakistan membutuhkan setidaknya US$ 41 miliar dalam 12 bulan ke depan untuk membayar utang dan mendanai impor. Jika tidak, Pakistan terancam pailit alias gagal bayar utang.
Cadangan devisa Pakistan telah turun menjadi US $8,24 miliar, hanya cukup untuk menutupi kurang dari dua bulan impor. Padahal normalnya minimal cadangan devisa memenuhi 3 bulan impor.
Sementara itu, inflasi utama telah mencapai yang tercepat dalam lebih dari dua tahun dan berpotensi makin naik karena gempuran harga energi yang tinggi. Pada Mei 2022, laju inflasi Pakistan berada di 13,8% year-on-year/yoy. Ditambah dengan harga barang grosir yang melonjak 29% pada Mei dibanding tahun 2021. Ini makin menekan daya beli masyarakat Pakistan tentunya.
![]() |
Selain itu, neraca perdagangan Pakistan tercatat defisit PKR 692,5 juta. Defisit akan makin dalam karena impor minyak makin tinggi. Akibatnya, mata uang rupee Pakistan anjlok, sepanjang tahun ini melemah 17% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Pakistan dengan ekonominya layaknya zombie. Nasib Pakistan kini ditentukan oleh pihak luar, dalam hal ini Dana Moneter Internasional (IMF).
Pemerintah Pakistan menaikkan pajak bagi industri dan individu untuk melancarkan kesepakatan baru gelontoran dana dari organisasi yang berkantor pusat di Washington DC tersebut.
Adapun 13 industri besar, perusahaan dan korporasi yang memiliki pendapatan lebih dari US$ 1,45 juta pajaknya naik dari 29% menjadi 39%. Tujuannya Pakistan mendapat kesepakatan penting dari IMF adalah untuk menyelamatkan negera itu dari kebangkrutan dan membuka jalan bagi lebih banyak bantuan dari lembaga multirateral lain dari negara-negara sahabat.
Artinya posisi utang Pakistan bisa makin tinggi lagi. Padahal rasio utang Pakistan mencapai 74% dari PDB pada 2021. Hal ini yang berpotensi makin menekan ekonomi Pakistan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]